REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Sapto Andika Candra, Antara
Pandemi Covid-19 di Tanah Air masih belum menunjukkan tanda akan berakhir. Artinya kebijakan ketat terhadap bagaimana manusia berinteraksi masih terus harus diberlakukan.
Pemerintah memang sudah menyiapkan sejumlah stimulus, namun diperkirakan jumlah yang telah disiapkan tidak cukup. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu meragukan tambahan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun sebagai stimulus dalam penanganan Covid-19 bisa cukup mengantisipasi pandemi.
Febrio mengatakan, pemerintah sudah menghitung angka stimulus baru untuk mengantisipasi situasi yang dinamis saat ini. Terutama saat melihat tanda-tanda mengkhawatirkan dari kondisi ekonomi sekarang akibat tekanan dari pandemi Covid-19. "Kita duga tidak akan cukup (Rp 405,1 triliun)," tuturnya dalam Macroeconomic Talkshow melalui telekonferensi, Senin (20/4).
Pada awal April, pemerintah memutuskan menambah belanja dan pembiayaan untuk penanganan Covid-19 dengan total anggaran Rp 405,1 triliun. Sebanyak Rp 75 triliun di antaranya untuk intevensi ke sektor kesehatan, sementara Rp 110 triliun guna jaring pengaman sosial dan Rp 70,1 triliun ditujukan dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan Rp 150 triliun sebagai dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19. Menurut Febrio, anggaran terakhir akan difokuskan untuk memberi bantuan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Febrio mengatakan, pemerintah bersama otoritas keuangan terkait berupaya memastikan anggaran bisa tetap tersedia. Salah satunya dengan melakukan realokasi belanja hingga Rp 54,6 triliun dan melakukan penghematan belanja negara hingga Rp 190 triliun.
Febrio mengakui, banyak resistensi yang datang ketika kebijakan realokasi dilakukan. Tapi, pertahanan tersebut sudah mulai mereda seiring dengan persamaan persepsi antar pemangku kepentingan. "Kementerian lembaga, pemerintah daerah, semua ingin berpartisipasi," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual menyebutkan, besaran stimulus Indonesia memang relatif lebih kecil dibandingkan negara lain. Ia mencatat, Indonesia sudah mengeluarkan stimulus 2,5 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Sedangkan, negara tetangga Malaysia sudah mencapai 17 persen dan Singapura 12 persen. Negara maju seperti Amerika Serikat bahkan menggelontorkan 11 persen dari PDB, sedangkan Jepang mencapai 20 persen terhadap PDB.
Tapi, kondisi tersebut bisa dipahami karena skala kekuatan fiskal dan besaran dampak Covid-19 ke tiap negara berbeda-beda sehingga stimulus yang diberikan pun tidak sama. "Jadi, patut dimaklumi," ujar David.
Perlemahan ekonomi akibat Covid-19 tidak hanya terjadi di Tanah Air. Kondisi ekonomi yang buruk melanda hampir semua negara dengan pasien Covid-19.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu menyebutkan perekonomian global belum menunjukkan adanya perbaikan. Penyebaran wabah virus corona baru masih dipandang mengkhawatirkan.
Febrio menyatakan wabah Covid-19 terus meningkat di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Italia, dan Spanyol. Sehingga waktu pemulihan dari ekonomi global belum dapat diprediksikan.
“Ini belum menunjukkan tanda perbaikan, justru kita cukup khawatir dengan perkembangannya di seluruh dunia. Ekonomi dunia diprediksi akan melambat sangat signifikan juga dengan banyak ketidakpastian,” katanya.
Febrio menuturkan meski di beberapa negara sudah berhasil mulai mengalami penurunan kasus Covid-19 dan menunjukkan perbaikan dari sisi ekonomi, namun risiko dan pola ke depan terkait wabah ini belum diketahui secara pasti.
“Beberapa negara sudah berhasil memperlambat walaupun tetap saja ada risiko kita tidak tahu apakah ada gelombang kedua atau tidak. Kami belum bisa melihat polanya apakah menuju suatu pola tertentu atau tidak,” ujarnya.
Febrio melanjutkan ketidakpastian itu juga dibuktikan dengan adanya hasil dari proyeksi oleh beberapa lembaga keuangan yang menunjukkan angka sangat berbeda.
JP Morgan memprediksi ekonomi dunia terkontraksi 1,1 persen, prediksi EIU ekonomi dunia minus 2,2 persen, prediksi Fitch yang terkontraksi 1,9 persen, serta IMF memprediksi ekonomi dunia terkontraksi hingga 3 persen pada 2020. “Ini artinya kita tahu akan melambat secara global, tapi kita tidak tahu persisnya seperti apa karena ini penuh ketidakpastian,” ujarnya.
Febrio menuturkan di Indonesia dalam dua minggu terakhir pertambahan kasus Covid-19 sudah mulai konstan dan tidak eksponensial. Namun belum tentu menunjukkan akan ada perbaikan dalam perekonomian.
“Pemerintah menggunakan satu angka sebagai acuan yaitu untuk 2020 adalah di 2,3 persen tapi ini dipenuhi oleh ketidakpastian,” katanya. Ia menegaskan keadaan pada 2021 mendatang akan sangat tergantung pada penanganan dan upaya dalam menjaga perekonomian Indonesia saat 2020.
“Indonesia memang melihatnya pada 2021 kita akan rebound tapi kita juga tidak tahu proses reboundnya seperti apa. Karena semua tergantung pada apa yang akan terjadi saat 2020,” tegasnya.
Febrio berharap melalui kebijakan yang telah diambil pemerintah akan mampu menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lebih rendah dari 2,3 persen. “Terutama untuk kuartal II-2020 kalau nanti benar-benar menjadi puncaknya, harapannya Kuartal II tidak terlalu dalam, sehingga kita masih punya masa recovery yang lebih cepat,” katanya.
Hari ini Presiden Joko Widodo meminta evaluasi langkah-langkah yang sudah dilakukan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Termasuk evaluasi pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.
"Hari ini saya ingin ada evaluasi total dari apa yang telah kita kerjakan dalam menangani Covid-19 ini. Terutama evaluasi mengenai PSBB. Secara lebih detail kekurangannya apa, plus minusnya apa, sehingga bisa kita perbaiki," jelas Presiden Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas.
Presiden tidak menjelaskan secara rinci, bagaian mana yang akan menjadi fokus pemerintah dalam evaluasi penanganan Covid-19 dan evaluasi berjalannya PSBB ini. Jokowi hanya meminta kepada seluruh pemimpin daerah untuk secara optimal menjalankan tiga hal, yakni pengujian sampel secara masif, pelacakan pasien positif secara progresif, dan pelaksanaan isolasi orang-orang yang terpapar dengan ketat.
"Tiga hal ini harusnya sering terus menerus ditekankan kepada seluruh daerah," jelasnya.
Memasuki pekan kelima kebijakan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah, jumlah kasus positif di Indonesia sebanyak 6.575. Sedangkan jumlah kasus meninggal akibat corona sebanyak 582 dan kasus sembuh mencapai 686.