REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar, Rahayu Subekti, Joko Sadewo
Larangan mudik saat Lebaran agaknya akan terjadi. Upaya melarang pemudik pulang kampung terpaksa ditempuh pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona jenis baru.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Didin Hafidhuddin menuturkan, pelarangan mudik merupakan ranah eksekutif, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Dia mengatakan, pemerintah sebetulnya harus memberlakukan kebijakan secara masif agar masyarakat tidak mudik.
"(Diserahkan) ke pemerintah pusat dan daerah, harus bekerja sama. Jangan selalu pakai fatwa karena itu kan urusan kebiasaan dan urusan pengaturan pemerintah. Kalau pemerintah menutup semua kota, pasti tidak ada jalan masuk," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (20/4).
Menurut Didin, jika akses ke fasilitas transportasi umum seperti kereta dan bus di setiap daerah ditutup, arus mudik bisa dikurangi. "Kendaraan, alat transportasi, dipersedikit misalnya, ini akan mengurangi yang mudik karena tidak ada fasilitas kereta, fasilitas bus di setiap daerah," ujar dia.
Didin menilai pelarangan mudik untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19 sebetulnya urusan teknis yang menjadi ranah eksekutif. "Di ranah eksekutif, pusat maupun daerah, bukan di ranah ulama karena ini sudah urusan teknis. Tetapi, kalau mengurus jenazah, sholat Tarawih, dan sebagainya itu ranah MUI. Kalau mudik itu bukan ranah MUI," katanya.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebelumnya menyatakan harapannya kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa yang isinya mengharamkan masyarakat mudik di tengah wabah virus corona atau Covid-19. Ma'ruf yang saat ini menjabat ketua umum nonaktif MUI mengaku telah mendorong MUI agar menggodok fatwa tentang larangan mudik tersebut.
Pemerintah memang belum mengeluarkan keputusan terkait mudik. Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi sudah menyiapkan skenario jika mudik diputuskan akan dilarang tahun ini. “Kalau sudah muncul larangan berarti skenario kita melarang seluruh angkutan umum, melarang kendaraan pribadi, melarang sepeda motor yang mudik,” kata Budi di Gedung Kemenhub, Senin (20/4).
Dia menegaskan, dengan begitu nantinya akan ada larangan mudik sepenuhnya terutama bagi masyarakat yang saat ini tinggal di wilayah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Budi menegaskan, masyarakat yang berada di wilayah PSBB tidak boleh keluar dari kota tersebut.
Selain itu, opsi penutupan jalan juga akan dilakukan untuk mengamankan pelarangan mudik. “Ya nanti kalau dilarang akan diberlakukan demikian (penutupan jalan tol),” tutur Budi.
Intinya, menurut Budi, pemerintah akan berupaya untuk mempersulit mudik selama situasi pandemi corona. Budi memprediksi arus mudik biasanya akan dimulai pada H-14 hingga H-7 Lebaran Idul Fitri.
Meskipun begitu, Budi mengakui ada kemungkinan pergeseran waktu mudik pada tahun ini sebab pemerintah akan memindahkan cuti Lebaran saat akhir tahun. “Jadi, perkiraan saya kalaupun mungkin masa ada mau pulang kampung sekitar tanggal 20 Mei 2020,” ungkap Budi.
Budi mengatakan belum bisa memperkirakan kapan kebijakan larangan mudik akan disahkan. Dia mengharapkan pada pekan ini dapat segera selesai sehingga Kemenhub memiliki kepastian dan menjalankan aturannya.
“Jadi, kemarin diskusi kita dengan yang lain itu kayaknya semakin kuat ya. Pesan yang dibangun, kita akan pelarangan mudik. Rencananya begitu,” kata Budi.
Jika sampai ada larangan mudik, Budi memastikan Kemenhub sudah siap dengan regulasinya. “Kita buat regulasinya. Perencanaan peraturan menteri (PM) sudah siap kita. Sudah di biro hukum,” ujar Budi.
Dengan adanya regulasi resmi, Budi memastikan nantinya akan ada sanksi yang diberlakukan jika mudik dilarang. Minimal, menurut dia, pemudik akan dikembalikan dan tidak tidak boleh meninggalkan Jabodetabek menuju kampung halaman.
Budi memprediksi untuk sementara ini potensi mudik masih akan terjadi dan dimulai pada H-7 Lebaran Idul Fitri 2020. Budi mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa pemerintah berencana melarang mudik. “Kalau kita lihat sekarang di daerah banyak kepala daerah yang meminta gitu (pelarangan mudik),” kata Budi.
Dia menjelaskan, saat ini kesadaran masyarakat di daerah sudah muncul dengan membuat gugus tugas tingkat RT dan RW. Jika ada orang asing masuk atau pendatang karena mudik, akan ada penolakan.
“Kalaupun masuk (mudik ke kampung halaman) ya kamu karantina 14 hari. Jadi, daripada seperti itu lebih baik masyarakat urungkan saja,” tutur Budi.
Selain itu, Budi mengatakan, dari jajak pendapat yang dilakukan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), banyak kepala desa yang menolak warganya mudik, terutama pemudik yang berasal dari daerah pandemi di Jakarta.
Sebelumnya, Kemendes PDTT melakukan jajak pendapat terhadap kepala desa yang yang tersebar di 31 provinsi pada 10-12 April 2020. Kepala Pusat Data dan Informasi Kemendes PDTT Ivanovich Agusta mencatat mayoritas kepala desa menolak warganya mudik kembali ke kampung halaman selama merebaknya pandemi virus corona atau Covid-19.
"Jadi, ada 89,75 persen hampir mutlak kepala desa tidak setuju warganya mudik," kata Ivanovich dalam video konferensi, Selasa (14/4).
Dia menjelaskan, aspirasi dari sekitar 3.931 sampel kepala desa yang mayoritas penduduknya Muslim tersebut perlu dindengar, khususnya bagi perantau yang saat ini masih berada di Jakarta dan sekitarnya. “Yang dibutuhkan di desa saat ini adalah tidak mudik ke desa pada Lebaran 2020,” tutur Ivanovich.
Sebagian besar alasan dari kepala desa yang menjadi sampel jajak pendapat tersebut adalah faktor kesehatan sehingga tidak memperluas penularan ke provinsi lain. Sementara itu, untuk yang tidak setuju, kepala desa beranggapan lebih baik kembali ke desa agar tidak tertular Covid-19 di Jakarta.
Pada dasarnya, Ivanovich memastikan sebagian besar kepala desa meminta perantau agar tidak mudik. "Aspek kesehatan harus menjadi argumen utama terutama menyosialisasikan tahun ini sebaiknya tidak mudik," tutur Ivanovich.
Direktur Eksekutif LSI Denni JA pernah membuat kalkulasi terkait bahaya mudik dan potensi penyebaran virus corona. Denny menjelaskan, tahun lalu dari wilayah Jabotabek saja jumlah pemudik mencapai angka 14,9 juta penduduk. Angka ini bisa membengkak jika ditambah penduduk kota besar lain.
"Di kampung halaman, mereka akan berinteraksi dalam kultur komunal. Mereka berjumpa keluarga besar, tetangga, sahabat,” kata Denny. Kalau rata-rata 1 orang yang mudik berinteraksi dengan 3 orang lainnya, mudik menyebabkan interaksi sekitar 45 juta penduduk Indonesia.
Dari angka itu, menurut Denny, kalau 1 persen saja dari jumlah populasi pascamudik terpapar Covid-19, artinya setelah mudik akan ada 450 ribu penduduk Indonesia menjadi korban. Apabila angka tersebut benar terjadi, Denny menyangsikan kemampuan tenaga medis dan fasilitasnya di Tanah Air. Pemerintah pun diminta tak sebatas mengimbau, tetapi melarang mudik secara tegas.
“Kalau jumlah sebanyak 14,9 juta itu akan diisolasi di mana? Cukupkah infrastruktur kesehatan kita mengurus populasi sebanyak itu?” ungkap Denny.
Dalam kondisi sekarang saja, Denny melanjutkan, banyak rumah sakit dan tenaga medis menjerit kekurangan fasilitas. "Bagaimana infrastruktur kesehatan kita siap dan mampu menampung lonjokan korban pascamudik,” kata Denny.