Selasa 21 Apr 2020 07:13 WIB
Kartini

Kartini Produk Politik Etis Kolonial?

kontroversi sosok Kartini

RA Kartini bersama keluarganya.
Foto: wikipedia
RA Kartini bersama keluarganya.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Dahulu, di dekade awal 1980-an, ada pernyataan yang menggegerkan dari cendikiawan tersohor Prof Harysa Bachtiar. Kala itu dia mempersoalan kenapa Kartini dianggap sebagai pejuang emansipasi kaum wanita Indonesia. Sebab, pada kenyataannya banyak sekali kaum perempuan yang punya jasa lebih konkrit dan besar dari pada hanya terkesan dilakukan seorang Kartini yang ‘hanya’  dan besar sebatas menulis surat?

Apa yang dikatakan Harsya yang juga Guru Besar bidang Sosiologi Universitas Indonesia dan menamatkan (menamatkan Doktor Sosiologi-nya di Harvard) kala itu menghebohan rezim Orde Baru yang sedang kuat-kuatnya. Bahkan dapat dikatakan dialah orang yang pertama selaku  sejarawan dan Guru Besar secara terbuka menggugat permasalahan “pengkultusan” Kartini sebagai Pahlawan Emansipasi Wanita Indonesia.

Dan apa yang dikatakan Harsya juga telah menjadi pertanyaan yang selama ini banyak menghingapi berjuta-juta benar manusia Indonesia. Harsya dan publik mempertanyakan: “Mengapa Harus Kartini?” Sebab, ada nama-nama perempuan lain seperti Cut Nyak Dien, HR Rasuna Said, Dewi Sartika, yang juga punya jasa yang sangat besar.

Namun tak hanya Harsya, ‘munsyi’ dan seniman serba bisa yang terkenal ‘mbeling’, Remy Silado, dalam sebuah percakapan juga pernah mempertanyakan soal Kartini. Namun yang dia tanyakan bukan pada sosoknya, melainkan pada soal lagu nasional ‘Ibu Kita Kartini’ yang tersohor itu mirip lagu dari kampung halamannya di Manado: O Inani Keke’.

’’Coba kamu perhatian syair lagunya baik-baik, dan coba cocokkan dengan lagu O Inani Keke. Mirip bukan? ,’’ kata Remy sembari tersenyum dalam sebuah perbincangan di rumahnya.

Nah, aneka gugatan itu bila ditelusuri ternyata juga hasil dari semacam ‘glorifikasi’ dengan tujuan politik kolonial. Dan semua yang paham sejarah itu ujungnya berada dalam kebijakan politik etis dari pemerintah Belanda pada tahun 1900-an. Kala itu akibat diprotes dari kubu ‘sayap kiri’ yang ada di Belanda, perhatian kepada perbaikan nasib tanah jajahan mulai lebih difokuskan.

Pemerintah Belanda waktu itu didesak harus mengambil sikap berbuat baik kepada koloninya yang berada di seberang lautan. Menurut mereka penderitaan dan kemiskinan di Hindia Belanda sudah keterlaluan, padahal berkat jasa rakyat tanah jajahanlah Belanda menjadi negeri yang makmur.

Maka, pemerintah kerajaan Belanda sudah saatnya harus berbuat balas saja balik, yakni dengan sedikit memberi kelonggaran kepada warga tanah jajahannya. Salah satunya adalah memberi kesempatan kepada kaum pribumi pendidikan ala barat, meski hanya sebatas dijadikan tukang, pegawai administrasi, atau mantri kesehatan.

Harap diketahui juga, sebelum ada soal Kartini dengan kumpulan tulisannya yang disunting menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, sebenarnya pemicu munculnya politik etis adalah berasal dari Novel Multatuli (Edwar Douwes Dekker): Max Havelaar. Novel ini mengkisahkan kehidupan miskin rakyat Hindia Belanda di Lebak, Banten, yang tertindas dan hidup terlunta tanpa perlindungan sosial dan hukum negara. Novel dengan judul asli '"Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" ( "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda") bahkan di kalangan sastra dunia dianggap salah satu novel pengubah dunia.

Max Havelaar 9e druk.jpg

Alhasil, bila kemudian sosok Kartini mereka besarkan maka hal itu bukan sebuah hal istimewa karena bagian dari strategi politik etis. Kala itu memang belum ada perempuan Jawa yang bisa menulis surat dan berbahasa Belanda dengan sangat apik. Maka ketika Kartini punya pikiran yang membuka zaman oleh rekan korespondensinya di Belanda, HJ Abdendanon, kemudian disunting dan dikumpulkan dalam sebuah buku. Dari suntingan itu kemudian oleh satrawan Pujangga Baru, Armyn Pane, diterjemahkan dengan judul bergaya sebuah roman: Habis Gelap Terbitlah Terang.

Tapi apakah niat untuk memajukan kehidupan warga jajahan -- khususnya kaum perempuan--  bagi pihak kolonial tulus? Jawabannya tidak sama sekali. Apalagi pada saat hampir sama yakni pada tahun 1936 Gubernur Jendral BC de Jonge berkata ketus di tengah acara ulang tahun Ratu Belanda: "Kami orang Belanda sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kami akan tinggal di sini tiga ratus tahun lagi."

Selain itu pada zaman itu, yakni pada dekade awal 1900-an,  sudah ada rencana dari benak orientalis kondang, Snuck Hurgonje, yang sudah membuat skenario bahwa Hindia Belanda di masa depan adalah negara Uni Belanda, alias tidak akan jadi negara baru yang merdeka!

Jadi atas dasar itulah kita semua memakumi semua kontroversi di sekitar kebesaran nama puteri bangsawan Jawa: RA Ajeng Kartini. Dan di titik ini kita pun tahu bahwa novelis besar yang sosialis ‘Pramoedya Ananta Toer’ tidak suka dengan gelar kebangsawanannya. Dia sempat menulis buku dengan melihat Kartini sebagai orang biasa: {Panggil Aku Kartini Saja[.

Alhasil, meski pun ada banyak kontroversi soal sosok Kartini, lebih baik marilah kita bernyanyi lagu Ibu Kita Kartini karya WR Soepratman yang kesohor itu. Marilah bernyanyi dengan khidmad untuk mengenang jasanya:

Ibu kita Karitini


Putri sejati


Putri indonesia


Harum namanya....




 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement