REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo membandingkan kasus Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Syah Devara, dengan kasus mantan menteri agama Suryadharma Ali. Jika tidak karena dilindungi Perppu 1/2020 pasal 27 maka mereka yang terlibat dalam proyek pelatihan kartu prakerja dari kedua stafsus Presiden tersebut bisa bernasib seperti Suryadharma.
Dradjad mengatakan seandainya proyek itu dilakukan oleh politisi DPR atau Menteri dari parpol, maka akan banyak pihak berteriak agar KPK menangkap mereka yang terlibat.
Dradjad membandingkannya dengan kasus vonis terhadap mantan menteri agama Suryadharma Ali. Majelis hakim tipikor yang diketuai Aswidjon pada 11 Januari 2016, memvonis penjara 6 tahun untuk Suryadharma.
"Salah satu perbuatan bang Surya yang divonis pidana adalah terkait konsorsium penyediaan rumah di Jeddah dan Madinah yang kemahalan sebesar 15,498 juta riyal, atau sekitar Rp 37,2 milyar dengan kurs saat itu," kata Dradjad dalam pesan watsapp kepada republika.co.id, Senin (20/4).
Padahal, menurut Dradjad, apa yang membedakan perbuatan hukum dalam pemberian proyek tersebut dengan yang dilakukan oleh Suryadharma? Dijelaskannya, dari sisi penunjukkan provider, misalnya, apa alasan sehingga perusahaan milik stafsus lebih berhak mendapatkan proyek dibanding perusahaan lain?. "Bang Surya masih mending. Dia tidak menunjuk perusahaan milik pejabat terkait," ungkap ekonom senior Indef ini.
Kalau dilihat dari sisi harga kemahalan, menurut Dradjad, semua tahu bahwa sebagian modul pelatihan prakerja bisa didapat gratis di youtube. Tapi dalam proyek ini, negara harus membayar. "Ada yang harganya Rp 250 ribu. Jika peserta modul tersebut 1 juta orang saja, maka negara membayar kemahalan Rp 250 milyar. Itu baru satu modul. Unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain juga sangat jelas," papar dia.
Hal yang membedakan dalam kasus stafsus dengan Suryadharma, menurut Dradjad adalah adanya tiga lapis proteksi hukum yang diberikan oleh Perppu 1/2020 pasal 27. Sedangkan Suryadharma tidak punya.
"Pejabat yang memakai uang APBN Rp 405 triliun di bawah payung Perppu 1/2020 dengan Perpres No. 54/2020 sebagai turunannya, mereka kebal hukum. Boros APBN berapa pun bukan kerugian negara. Mereka juga tidak bisa digugat pidana, perdata atau ke PTUN," ungkap Dradjad.
Kalau kemudian ada yang menyebut masih ada BPK, Dradjad mengatakan BPK memang bisa mempunyai “temuan”. Tapi semua temuan itu bukan kerugian negara. "Jadi jangan kaget jika nanti ada bail out yang lebih parah dari BLBI dan obligasi rekap," kata Dradjad.
Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN itu menyebut, dalam Perpres 54/2020 ada pos yang nomenklaturnya sumir, tapi dananya besar. Yaitu pos 2.6 Pembiayaan Investasi Lainnya sebesar Rp 168,56 triliun. Ini, menurutnya, jelek bagi akuntabilitas.
Dradjad mengaku mengikuti krisis sejak 1997/98. Sehingga ia paham jika pembuat keputusan fiskal, moneter dan keuangan membutuhkan proteksi hukum. Ini karena saat mereka bergerak cepat mungkin ada yang terlewat. "Tapi tanpa pengawasan DPR, serta tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, bahayanya sama besarnya. Apalagi Perppu 1/2020 ini hampir semuanya soal ekonomi. Urusan kesehatan dan pandeminya sendiri malah tidak menonjol," ungkap ekonom yang pernah menjadi anggota DPR tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Dradjad, solusi politis terbaik adalah membuat Perppu ini menjadi UU APBN-P 2020. Hal-hal terkait dengan proteksi hukum yang sewajarnya bagi pejabat, bisa dimasukkan di sana.
"Kesalahan seperti dalam kartu prakerja bisa diminimalisasi. Saya yakin DPR bisa ngebut menyelesaikannya dalam 1-2 bulan, meski harus jaga jarak fisik," kata Dradjad.