REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*)
Kita harus mengapresiasi terlebih dahulu beberapa pihak yang membuat kebijakan untuk menyelamatkan jiwa manusia di masa pandemi covid-19 ini. Salah satunya, kebijakan sejumlah pihak terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umroh.
Di antaranya yaitu Pemerintah Arab Saudi, yang sejak Februari telah menangguhkan sementara umroh sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini tentu saja, demi kemashlahatan umat Islam yang ingin beribadah ke Baitullah.
Dan, hingga saat ini pun, pemerintah Arab Saudi meminta kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia untuk menunda dulu segala macam perjanjian kontrak perhajian. Yaitu, seperti akomodasi.
Kemudian, kita juga apresiasi persiapan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini yaitu Kementerian Agama (Kemenag) yang mengurus soal penyelenggaraan ibadah haji dan Umroh. Sejak beberapa bulan lalu, Kemenag sudah melarang travel-travel umroh untuk membuka pendaftaran sampai masalah pandemi covid-19 ini selesai.
Dan, terkait haji, Kemenag juga telah melakukan sejumlah persiapan. Di antaranya tetap mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan terkait penyelenggaraan haji di Arab Saudi.
Kemudian, Kemenag juga telah mempersiapkan tiga skenario soal penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, di masa pandemi covid-19. Pertama, skenario bila haji tahun ini bisa dilaksanakan dengan kuota normal Kedua, haji tahun ini jadi namun dengan pembatasan kuota jamaah yang berangkat. Dan ketiga, jika ibadah haji ditunda. Penyelenggaraan ibadah haji bisa ditunda bila Kemenag tidak punya waktu cukup untuk mempersiapkan penyelenggaraan ibadah haji akibat cepatnya perubahan kebijakan Arab Saudi. Maka, pemerintah Indonesia memilih tidak mengirimkan jamaah haji karena alasan keselamatan atau keamanan.
Lalu, bagaimana kira-kira, apakah tahun ini ibadah haji bisa dilaksanakan atau tidak? Menurut hemat pribadi penulis, hal itu tergantung dengan beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama yaitu tergantung dengan berakhirnya pandemi covid-19. Soal ini, berarti terkait dengan penemuan vaksin covid-19, yang sampai pertengahan April ini belum juga ditemukan.
Menteri Riset dan Teknologi/Kapala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro pada 6 April 2020 lalu, pernah mengungkapkan bahwa penelitian dan pengembangan vaksin corona di Indonesia setidaknya memerlukan waktu minimal satu tahun. Kecuali, jika di luar negeri sudah ada vaksin yang dikembangkan dan bisa diproduksi di Indonesia.
Negara-negara lain juga sedang bekerja keras menemukan vaksin ini. Kedua negara, ini diperkirakan baru akan menguji vaksin tahap pertama pada Juni 2020, sementara diperkirakan, vaksin ini secara 'sempurna' baru bisa ditemukan pada Desember 2020 hinga Maret 2021.
Sementara, di Arab Saudi sendiri, termasuk negara yang sangat ketat soal kesehatan dan vaksin. Contohnya, setiap jamaah haji maupun umroh yang masuk ke Arab Saudi, diwajibkan mengantongi sertifikat vaksin meningtis yang berarti setiap jamaah telah diberi vaksin tersebut. Ini tentunya untuk mencegah penularan penyakit tersebut di Arab Saudi selama musim haji.
Artinya, kalau soal ini agak berat rasanya Arab Saudi mengizinkan jamaah haji dari negara manapun masuk ke negaranya tanpa ada vaksin corona terlebih dahulu. Rasanya, sangat tak mungkin Arab Saudi nekat membiarkan jamaah haji masuk ke negaranya tanpa ada vaksin corona terlebih dahulu. Dan ini sudah dibuktikan sejak Februari lalu, di mana Arab Saudi menutup sementara umroh dan bahkan umroh di Bulan Ramadhan tahun ini.
Soal ini juga (sebelum adanya vaksin corona), pemerintah Indonesia yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, akan sulit mengambil risiko memberangkatkan umat Islam di Tanah Air untuk berhaji. Hal ini, setahu penulis, Kementerian Agama maupun Kementerian Kesehatan, dua kementerian yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, selalu mengutamakan kesehatan dan keselamatan jamaah hajinya. Ini bisa dilihat dari setiap tahun penyelenggaran haji, dua lembaga tersebut sangat memperhatikan kesehatan dan keselamatan jamaah hajinya, termasuk dengan cara memberikan manasik haji yang ringan, dan mengutamakan yang wajib saja.
Bahkan soal kesehatan, pemerintah memiliki payung hukum sendiri. Yaitu, Permenkes Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Artinya, kesehatan jamaah haji Indonesia sangat diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia.
Memang, keputusan soal jadi atau tidaknya penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, baru diputuskan pemerintah sekira pertengahan atau akhir Ramadhan. Sementara, jamaah haji Indonesia sendiri setiap tahun biasanya, mulai diberangkatkan ke Arab Saudi pada sebulan setelah Hari Raya Idul Fitri. Artinya, di sini juga terjadi riskan jika mengirimkan jamaah, karena diperkirakan vaksin corona belum ditemukan.
Penulis memahami, haji merupakan salah satu rukun dalam Islam yang didamba-dambakan setiap umat Islam. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa ada unsur istithaah atau kemampun untuk melaksanakan ibadah haji. Jika Covid-19 ini memang belum berakhir dan vaksinnya belum ditemukan, maka di sini belum ada unsur kemampuan dari setiap jamaah haji di seluruh dunia.
Di zaman awal-awal kemerdekaaan pun (1945-1949), sejak perang dunia kedua usai dan disusul keluarnya Maklumat Kementerian Agama No 4 Tahun 1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang, umat Islam di Indonesia juga tidak berangkat haji. Ini karena adanya pengaruh fatwa tidak wajib KH Hasyim Asyari karena ada unsur tidak istithaah karena ada perang.
Untuk itu, jika pahit-pahitnya haji memang dibatalkan pada tahun ini, jangan terlampau gusar dan sedih. Bukankah di ajaran agama diajarkan, untuk niat baik saja, walau belum terlaksana, hal tersebut tetap dicatat amal baik.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebutkan “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”
Sementara,Sa’id bin Al Musayyib, seorang ulama yang termasuk golongan tabi'in berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umrah atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”
Namun, tentu di luar prediksi itu semua, kita tetap harus berprasangka baik dan berharap kepada Allah, agar pandemi covid-19 ini segera berakhir dan vaksin ditemukan. Sehingga, ibadah haji berjalan normal seperti biasanya.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id