REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pada 21 April 1989, 100 ribu mahasiswa memulai gerakan protes di Lapangan Tiananmen, Biejing atas kematian pemimpin Partai Komunis China yang sangat reformis, Hu Yaobang. Mereka juga menyurakan ketidakpuasan dengan pemerintah komunis China yang dinilai sangat otoriter.
Itu adalah awal dari demonstrasi massa di Lapangan Tiananmen, Beijing sebelum Pemerintah China mendeklarasikan darurat militer pada Mei di tahun yang sama yang menyebabkan Pembantaian Juni oleh pasukan China. Dilansir History, keesokannya setelah 21 April, upacara peringatan resmi untuk Hu Yaobang digelar di Aula Besar Rakyat Tiananmen. Perwakilan mahasiwa membawa petisi ke Aula Besar menuntut untuk bertemu perdana menteri Li Peng.
Namun, Pemerintah China menolak pertemuan itu, yang mengarah pada boikot universitas-universitas China di seluruh negeri, dan seruan luas untuk reformasi demokratis. Mengabaikan peringatan pemerintah, mahasiswa dari lebih 40 universitas berunjuk rasa ke Tiananmen pada 27 April.
Mereka bergabung dengan pekerja, intelektual, pegawai negeri, dan warga sipil lainnya. Kemudian, pada pertengahan Mei lebih dari satu juta orang memadati alun-alun Tiananmen. Tiananmen merupakan situs proklamasi pemimpin komunis Mao Zedong tentang Republik Rakyat Tiongkok pada 1949.
Pada 20 Mei 1989, pemerintah secara resmi menyatakan darurat militer di Beijing. Pasukan dan tank pun dikerahkan untuk membubarkan para pembangkang. Namun, sejumlah besar mahasiswa dan warga lain menghalangi majunya tentara. Pada 23 Mei, pasukan pemerintah mundur ke pinggiran Beijing.
Pada 3 Juni, negosiasi untuk mengakhiri protes terhenti. Alhasil seruan untuk reformasi demokrasi meningkat, sehingga pasukan militer China menerima perintah dari pemerintah China untuk merebut kembali Tiananmen dengan segala cara. Pada akhir hari berikutnya, pasukan China secara paksa membersihkan Lapangan Tiananmen dan jalan-jalan Beijing.
Pembersihan itu menewaskan ratusan demonstran dan menangkap ribuan demonstran serta tersangka pembangkang lainnya. Dalam pekan-pekan setelah tindakan keras pemerintah, sejumlah pembangkang yang tidak diketahui dieksekusi mati, dan garis keras komunis mengambil kendali tegas atas negara tersebut.
Komunitas internasional sangat marah atas insiden itu. Amerika serikat (AS) dan beberapa negara memeberikan sanksi ekonomi kepada China yang membuat ekonominya anjlok. Namun, pada akhir 1990, perdagangan internasional telah dimulai kembali, sebagian berkat pembebasan China atas ratusan pembangkang yang dipenjara.