REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bowo Pribadi
Raden Ajeng Kartini Semringan saat mendapatkan kesempatan yang diberikan ayahnya, Raden Mas Adipati Ario (RMAA) Sosroningrat, untuk belajar di Europse Lagere School (ELS) pada 1885. Kartini kecil saat berusia sekitar enam tahun, bisa merasakan kehidupan di luar sangkar emas atau tembok pendopo kabupaten setelah diizinkan belajar di gedung sekolah yang berada tidak jauh (sebelah) dari Pendopo Kabupaten Jepara ini.
Kartini kecil juga girang bisa memiliki banyak teman, kendati teman-teman sebaya dari kalangan Bumi Putera di sekolah yang berbahasa Belanda tersebut terbilang sedikit. Hanya putra-putri bangsawan saja yang bisa bersekolah.
Dalam buku Kartini Penyulut Api Nasionalisme, sejarawan Hadi Priyanto mengungkap, Kartini merasa senang bersekolah. Ia bisa berlarian ke sana-kemari, melompat, bermain bebas, dan bahkan tertawa lepas. Tidak seperti di dalam lingkungan pendopo kabupaten atau di rumah besarnya, yang semuanya hidup serba diatur dengan adat dan berbagai tata laksana bangsawan Jawa yang cukup ketat dengan aturannya.
Hadi Priyanto juga menulis, saat itu juga menjadi titik awal bagi Kartini dan adik-adiknya --RA Roekmini dan RA Kardinah-- bisa menikmati kebebasan, berinteraksi dengan luar lingkungan pendopo Kabupaten Jepara. Sikap RMAA Sosroningrat yang moderat, memberikan kesempatan kepada RA Kartini untuk tahu banyak hal tentang rakyat di luar tembok pendopo.
RMAA Sosroningrat juga sering mengajak Kartini kecil bersama adik-adiknya untuk berkeliling melihat langsung kehidupan rakyat. Dengan begitu, ia telah mendidik anak-anaknya untuk melihat dan merasakan penderitaan rakyat.
"Dari kebiasaan ini, kepekaan Kartini dalam melihat persoalan rakyat dan kaum perempuan kian tajam karena dia juga bisa mendapatkan penjelasan langsung dari ayahnya," ujar Hadi. Satu hal yang membuat Kartini senang, lanjutnya, adalah ketika ayahnya tersebut juga memberikan izin kepada Kartini untuk menikmati pantai Bandengan, Jepara.
Saat libur, Kartini dan adiknya jamak bercengkerama, menghabiskan waktu, dan menikmati pantai yang berjarak sekitar 8 kilometer dari pendopo Kabupaten Jepara ini, dengan diantar oleh pengasuhnya, Mbok Mangunwikromo. Karena, Kartini senang menikmati pantai berpasir putih ini. Begitu juga saat berusia 12 tahun dan harus mulai menjalani pingitan, pantai Bandengan menjadi tempat yang paling dirindukan Kartini.
"Bukan saja karena panorama alamnya yang indah, pantai ini juga menjadi tempat bagi Kartini untuk bermunajat, menghibur diri bahkan juga untuk mencari dan menggali inspirasi atas pemikiran-pemikirannya," kata Hadi.
Petugas Museum RA Kartini, Jepara, Riza Khairul Anwar, mengungkap, ada sebuah literasi di museum yang mengisahkan kedekatan Kartini dengan Marie Ovink Soer, istri pejabat asisten residen baru, setelah perkenalan mereka pada 1892. Pada liburan pertama bertugas di Jepara, Kartini bersama Roekmini dan Kardinah mengajak istri asisten residen tersebut mengunjungi pantai Bandengan.
Ternyata Marie Ovink Soer senang dan sangat tertarik oleh keelokan pantai ini. Sang istri Asisten Residen pun menanyakan apa nama pantai tersebut.
Oleh RA Kartini dijawab pantai Bandengan. Kemudian, Marie Ovink Soer juga menyebutkan di Holand (Belanda) juga ada pantai yang mirip dengan pantai Bandengan ini, namanya Klein Scheveningen.
"Kepada Nyonya Ovink Soer, RA Kartini pun spontan menyampaikan, bagaimana kalau pantai Bandengan ini mereka sebut Klein Scheveningen," ujar Riza.
Menurut Joost Cote dalam Kartini -The Complete Writings 1898-1904 (2018), Marie Ovink Soer saat itu sudah terkenal sebagai feminis liberal yang kerap menulis dalam jurnal perempuan Belanda. Selain keahlian berbahasa Belanda, Cote meyakini melalui Marie ide-ide pergerakan feminis Belanda memasuki kepala Kartini.
Dalam tulisannya mengenang Kartini pada 1925, Marie menuturkan ia memang sering membacakan bahan bacaan dari Belanda dan kemudian berdiskusi dengan Kartini dan dua adiknya, tiga serangkai yang ia panggil Daun Klover. Marie cukup lama berada di Jepara, dari 1891 hingga 1899, sebelum ia kemudian pindah dan kian jarang menyurati Kartini.
Bermula dari Marie, Kartini kemudian rajin mengikuti perkembangan pergerakan feminisme di Belanda. Ia kemudian mulai dikenal kalangan progresif di Belanda setelah berkontribusi melalui tulisan dalam acara Pameran Nasional Pekerja Perempuan pada 1898. Acara itu digagas untuk menunjukkan peran perempuan, termasuk di negara jajahan, bagi Kerajaan Belanda.
Dari situ, Kartini kemudian membangun lingkaran kawan-kawan Belandanya yang ia surati kemudian. Hampir seluruhnya, setidaknya pada permukaan, merupakan golongan pendorong kebijakan progresif Belanda.
Di antaranya, Anneke Glaser, perempuan sepantaran Belanda yang pernah jadi tamu di rumah Kartini di Jepara. Menurut Cote, Anneke menolak memublikasikan surat Kartini yang ia terima.
Selanjutnya, Stella Zeehandelaar (1874-1936) yang berusia lima tahun lebih tua dari Kartini. Stella yang tinggal di Belanda menyambut permintaan sahabat pena Kartini yang dikirimkan ke jurnal perempuan De Hollandsche Lelie. Stella merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Demokrat Belanda, seorang feminis liberal, vegetarian, dan pendorong kebijakan etis di Hindia Belanda.
Kepada Stella, surat-surat Kartini lebih personal dan terbuka. Kartini bicara soal masa kecilnya hingga ketidaksukaannya pada praktik poligami.
Kemudian, ada Hilda Boissevain (1877-1975). Hilda juga anggota lingkaran progresif liberal Belanda. Bersama suaminya, Hendrik de Booij, Hilda sempat ke Hindia Belanda dan bertemu Kartini.
Di antara rekan surat-menyurat Kartini, Hilda dan suaminya yang paling keras menentang kolonialisme. Tak kalah penting adalah pasangan Abendanon, Jacques (1852-1925) dan Rosa Mandri (1857-1944). Mereka berdua tinggal di Batavia, Hindia Belanda, sejak 1875.
Hubungan mereka dengan Kartini bermula saat Jacques baru menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama Hindia Belanda dan mengunjungi Jepara. Keduanya aktif mendorong pendidikan yang diimpikan Kartini. Meski kemudian, Jacques berperan besar memilah dan memangkas surat-surat dari Kartini dan menerbitkan Door Duisternis tot Licht (1911) agar sesuai agenda kolonial.
Belakangan, putra pasangan itu, Edie Abendanon (1878-1962), juga bersurat dengan Kartini. Kartini menganggap Edie sebagai abangnya dalam surat-surat itu.