Selasa 21 Apr 2020 12:27 WIB

Eksekusi Mati di Arab Saudi Capai Rekor Tertinggi

Arab Saudi menduduki peringkat ketiga negara dengan eksekusi mati tertinggi di dunia.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Eksekusi mati (ilustrasi).
Foto: Republika/Mardiah
Eksekusi mati (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Amnesty Internasional melaporkan data terbaru, bahwa eksekusi mati di Arab Saudi mencapai rekor tertinggi dalam setahun pada 2019. Sebanyak 184 orang dieksekusi mati di Saudi dengan berbagai macam tuduhan selama 2019.

Dalam tinjauan global 2019 tentang hukuman mati yang diterbitkan pada Selasa (21/4), Amnesty International melaporkan bahwa Saudi meningkatkan penggunaan hukuman mati bahkan ketika seluruh dunia melakukan penurunan eksekusi, termasuk di wilayah Asia-Pasifik. Kerajaan Saudi mengeksekusi 178 pria dan enam perempuan sepanjang 2019. 

Baca Juga

Lebih dari separuhnya adalah warga negara asing. Pada 2018, Amnesty mencatat 149 orang dieksekusi mati di negara yang dipimpin Raja itu. Sebagian besar eksekusi adalah untuk pelanggaran terkait narkoba dan pembunuhan. "Semakin meningkatnya penggunaan hukuman mati di Arab Saudi, termasuk sebagai senjata melawan pembangkang politik, adalah perkembangan yang mengkhawatirkan," kata Direktur Senior Riset, Advokasi dan Kebijakan Amnesty International, Clare Algar dikutip Aljazirah, Selasa (21/4).

Sementara itu, hanya 20 negara yang bertanggung jawab atas semua eksekusi yang diketahui di seluruh dunia. Laporan Amnesty mencatat, Iran tetap menjadi algojo paling produktif kedua di dunia setelah China, di mana jumlah orang yang dihukum mati tetap menjadi rahasia negara. 

"Jumlah eksekusi hampir dua kali lipat di Irak," kata laporan Amnesty International.

Eksekusi global menurun untuk tahun keempat berturut-turut menjadi setidaknya 657 pada 2019 dari setidaknya 690 selama tahun sebelumnya. Itu merupakan angka terendah yang tercatat dalam dekade terakhir.

Lima negara pelaksana eksekusi mati teratas pada 2019 adalah China (1000-an), Iran (setidaknya 251), Arab Saudi (184), Irak (setidaknya 100), dan Mesir (setidaknya 32).

Amnesty International juga mendokumentasikan meningkatnya penggunaan hukuman mati terhadap mereka yang berasal dari minoritas Muslim Syiah Arab Saudi. Pada 23 April 2019, ada eksekusi massal 37 orang di antaranya 32 orang Syiah dihukum dengan tuduhan "terorisme" setelah pengadilan yang mengandalkan pengakuan palsu yang diambil melalui penyiksaan.

Orang-orang dibawa ke hadapan Pengadilan Kriminal Khusus (SCC) Arab Saudi, yang didirikan pada 2008 untuk mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan terkait teror tetapi semakin sering digunakan untuk menekan perbedaan pendapat. Sedangkan, di Irak, jumlah orang yang dieksekusi hampir dua kali lipat dari setidaknya 52 pada 2018 menjadi setidaknya 100 pada 2019, sebagian besar disebabkan oleh eksekusi individu yang dituduh sebagai anggota Negara Islam Irak dan Levant (ISIL atau ISIS).

Di Sudan Selatan, pihak berwenang mengeksekusi setidaknya 11 orang pada 2019, jumlah tertinggi yang tercatat sejak kemerdekaan negara itu pada 2011. Bahrain juga melanjutkan eksekusi setelah satu tahun absen, dengan kematian tiga orang selama tahun itu. Untuk pertama kalinya sejak 2010, tidak ada eksekusi yang dilakukan di Afghanistan. 

Wilayah Asia-Pasifik juga mengalami penurunan untuk pertama kalinya sejak 2011 yang tercatat dalam eksekusi yang dilaporkan di Thailand dan Taiwan. Di Singapura, eksekusi mengalami penurunan tajam dari 13 eksekusi pada 2018, menjadi 4 pada 2019, menjadikan tingkat total tahunannya sejalan dengan angka rata-rata tahun-tahun sebelumnya.

"Hukuman mati adalah hukuman yang menjijikkan dan tidak manusiawi, dan tidak ada bukti yang dapat dipercaya bahwa hukuman itu mencegah kejahatan lebih dari hukuman penjara," kata Algar dari Amnesty.

"Sebagian besar negara mengakui hal ini dan itu mendorong untuk melihat bahwa eksekusi terus menurun di seluruh dunia," katanya menambahkan.

Sementara di Malaysia, negara terus mengamati moratorium resmi atas eksekusi yang dilakukan oleh pemerintah koalisi Pakatan Harapan sebelumnya sejak Juli 2018. Pemerintah baru Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, yang berkuasa pada Maret 2020, belum menyatakan apakah akan melanjutkan janji pemerintah sebelumnya untuk mencabut hukuman mati. Parlemen negara itu diperkirakan akan berkumpul kembali di bawah pemerintahan baru pada 18 Mei.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement