Selasa 21 Apr 2020 13:15 WIB

PBB Peringatkan Libya di Ambang Krisis Kemanusiaan

Serangan penembakan tanpa pandang bulu meningkat di Libya.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan akan peningkatan secara cepat kekerasan dan dapat mendorong krisis kemanusiaan yang memburuk di Libya. Kondisi tersebut akan berubah menjadi kejahatan perang.

Sementara Misi PBB di Libya tidak mengidentifikasi pelaku kekerasan, ada peningkatan dramatis penembakan tanpa pandang bulu. Dalam beberapa hari terakhir, peristiwa penembakan terjadi di daerah-daerah sipil padat di ibu kota, Tripoli, yang menewaskan lima warga sipil dan melukai 28 orang.

Baca Juga

Pasukan komando Khalifa Hifter di Timur telah mengepung Tripoli sejak April lalu. Mereka berusaha merebut kota itu dari pemerintah yang mendapatkan dukungan internasional, termasuk PBB.

Pertempuran antara kedua kelompok telah menjadi jalan buntu yang kacau. Kelompok Government of National Accord (GNA) yang menduduki Tripoli dan mendapatkan kekuatan udara dari Turki telah melawan dengan menyerang Tarhuna, benteng utama barat dan jalur pasokan pasukan Hifter 45 mil di tenggara Tripoli. Selama beberapa minggu terakhir, pasukan Hifter telah meluncurkan roket ke sasaran sipil, termasuk fasilitas kesehatan. Penembakan intensif terhadap Tripoli membuat ribuan orang melarikan diri dari rumah meskipun lockdown diterapkan karena penyebaran virus corona.

Dalam serangan terbaru, roket Grad yang diluncurkan oleh pasukan Hifter menyerang dua rumah sakit lapangan. Menurut Kementerian Kesehatan, serangan itu melukai lima pekerja medis pada Senin (20/4).

Pekan lalu, PBB mengatakan, peluru artileri merusak unit perawatan intensif Rumah Sakit Kerajaan Tripoli. Serangan itu menjadi pukulan terhadap sistem perawatan kesehatan yang sudah rentan untuk menanggapi pandemi Covid-19.

PBB juga menyatakan keprihatinan tentang nasib warga sipil di Tarhuna setelah serangan militer GNA. Tanpa menyebut nama pasukan yang berbasis di Barat, pihaknya menyesalkan penangkapan sewenang-wenang, penyalahgunaan warga sipil, serta pemutusan pasokan listrik dan gas.

Pasukan GNA mengklaim merebut medan perang di sekitar Tarhuna. Sementara pasukan Hifter mengatakan mereka menggagalkan serangan itu. Kedua belah pihak melaporkan membunuh dan menangkap milisi saingan.

Dewan Suku Tarhuna merilis pernyataan, pejabat setempat Sheikh Al-Abed Mohamed Al-Hadi dan putra-putranya telah ditembak mati. Peristiwa itu terjadi ketika GNA menyerbu rumah mereka selama akhir pekan.

PBB juga telah memperbarui permintaan untuk gencatan senjata kemanusiaan sehingga pihak berwenang Libya dapat menangani darurat kesehatan Covid-19. PBB mendesak penghentian peningkatan serangan membabi-buta.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement