Selasa 21 Apr 2020 15:41 WIB

PKS Sayangkan Konsep Kartu Prakerja

Konsep kartu prakerja dianggap tidak sensitif terhadap kesulitan masyarakat.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta
Foto: dok.Istimewa
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program kartu pra kerja yang baru digulirkan pemerintah, menuai polemik. Salah satunya yang menuai kritik adalah konsepnya yang dianggap tidak sensitif terhadap kesulitan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Meski memang kartu prakerja merupakan janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal sekitar Rp 5.6 triliun digelontorkan untuk program ini. "Kartu prakerja ini kami pahami adalah janji Pak Jokowi dalam kampanye Pilpres kemarin. Harapan kami, tentu ini bisa dikelola dengan kemanfaatan yang maksimal dan bisa dirasakan oleh anak anak bangsa yang baru lulus dan akan mencari kerja," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta dalam siaran persnya, kemarin. 

Apalagi, lanjut Sukamta, di masa pandemi sekarang ini, semua serba sulit, PHK dimana mana, ekonomi berhenti. Bagi-bagi uang tunai kepada rakyat seperti ini, mungkin bisa mengurangi ketegangan sosial.

Hanya saja sangat disayangkan, seperti ada pembelokan. Sehingga tidak semua uang dibagi kepada rakyat pencari kerja, tetapi Rp 1 juta ditahan dan langsung dialokasikan untuk pelatihan digital. 

"Konsep seperti ini terlihat tidak sensitif terhadap kesulitan rakyat di tengah pandemi covid-19," tegas anggota Banggar DPR tersebut.

Sukamta menjelaskan, jika dilihat dari isi pelatihan yang berharga Rp 1 juta per orang, maka itu bukan pelatihan sebetulnya, karena hanya download bahan saja. Harga bahan sampai Rp 1 juta per orang." Kalau diakses 3,5 juta orang kan sudah 3,5 trilliun harga mendownload materi itu," katanya. 

"Kalau modal materi dan pelaksanaannya, proyek ini paling besar bernilai beberapa ratus milyar saja, tidak sampai Rp 5,6 triliun," keluh Sukamta.

Mestinya, kata Sukamta, jika niat membantu maka hargailah sesuai dengan harga yang wajar. Apalagi bahan- bahan itu sudah bisa ditemukan di internet secara gratis, maka tidak ada yang istimewa sekali.

Apalagi setelah download juga tidak ada jaminan bisa diterima kerja atau membuat pekerjaan. Jadi, konsep kebijakannya tidak memberi solusi bagi masalah yang disasarnya, yaitu soal pengangguran. 

"Kalau akan dibuat pelatihan kerja, berikanlah keterampilan yang bisa diterapkan sesuai kebutuhan kerja dan secara keuangan yang rasional. Sehingga bisa melibatkan lebih banyak orang atau sisa uangnya bisa dialokasikan untuk yang lainnya," tegas Sukamta.

Maka, tidak heran jika ada kesan kuat di masyarakat, kata Sukamta, seperti bagi-bagi uang kepada vendor perusahaan digital. Padahal sebenarnya mereka sudah untung dengan peningkatan penggunaan applikasi mereka. "Itu karena dampak kebijakan semua serba dilakukan dari rumah melalui rasana daring," ujarnya. 

Pemerintah memang sudah membuat Perppu nomor 1 tahun 2020 sebagai payung hukum mengeluarkan Perpres nomor 54 tahun 2020. Sehingga APBN dibuat sepihak tanpa melibatkan DPR RI. "Tetapi kami berharap jangan karena dibuat sendiri, kemudian seperti prasmanan. Uang seperti dibagi-bagi sendiri. Kasihan rakyat, kan itu uangnya rakyat," tandasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement