REPUBLIKA.CO.ID,
“Laa Tash-hab Man Laa Yunhidluka Haaluhu
Wa Laa Yadulluka ‘Alallaahi Maqooluhu—
Janganlah berkawan dengan orang
yang keadaannya tidak membangkitkan semangatmu
dan pembicaraannya tidak membimbingmu ke jalan Allah”
-Ibnu ‘Athoillah-
Tak banyak kisah persahabatan anak manusia yang dicatat dengan tinta emas dalam Alquran. Satu di antara kisah yang paling mengesankan adalah persahabatan antara Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar as-Siddiq. Saksi persahabatan antara dua anak manusia ini adalah Allah SWT. Allah pula yang menyematkan kata “sahabat” bagi mereka berdua. Simaklah ayat 40 surah at-Taubah. Kita akan terenyak, betapa karibnya persahabatan itu.
“… sedang dia; salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, pada waktu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Janganlah engkau berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.’” Persahabatan antara Nabi dan Abu Bakar melebihi persahabatan beliau dengan nama-nama lain para sahabatnya. Memang, secara umum, kita menyebut Muslimin yang hidup sezaman dengan Nabi adalah para sahabat. Adalah istilah zaman sahabat ada zaman tabiin.
Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari dan dalam derajat tertentu, masing-masing sahabat memiliki kekariban yang berbeda. Simaklah, demikian erat persahabatan antara Nabi dan khalifah pertama dalam Islam itu sehingga Allah sendiri yang mencatatnya dalam wahyu kepada nabi-Nya. Layaknya sahabat dengan sahabat maka antara sahabat akan saling membantu, saling menolong, saling melindungi dari kejahatan, serta kenistaan sikap dan sifat bagi sahabatnya.
Kalau ditanya kisah persahabatan siapa yang mesti kita teladani, tentu kisah persembunyian di dalam Gua Hira itu layak dikemukakan. Sebab, dari dalam gua di dinding tebing itulah, masa depan Islam dipertaruhkan. Ketika mengendap-endap meninggalkan Makkah menuju Madinah dalam rangkaian perjalanan hijrah, selain karena perintah penyelamatan Islam, Nabi dan Abu Bakar juga mempertaruhkan keselamatan mereka berdua.
Saat itu, semua konsentrasi kaum musyrikin dan kufar Makkah tertuju kepada Nabi. Beliau diincar untuk dibunuh, bahkan sejak malam sebelum perjalanan dimulai. Sudah pasti Abu Bakar amat sadar betapa besar risiko menemani kekasihnya dalam perjalanan itu. Persahabatan memang mengandung risiko, tetapi dengan persahabatan pula, seseorang dapat ditentukan perjuangan hidupnya. Persahabatan adalah sesuatu yang mulia.
Sahabat yang baik, demikian merujuk kepada ayat di atas, tentu akan menjelma kabar baik bagi sahabatnya. Sahabat sejati akan menggembirakan sahabatanya, hatta ketika nyawa mereka dalam ancaman. Persis Rasulullah ketika membesarkan hati Abu Bakar dengan memintanya tak perlu bersedih. Mengapa tak perlu bersedih? Sebab, demikian kabar gembira Nabi kepada sahabatnya itu, Allah menyertai mereka dalam gua.
Kabar gembira itu telah membuat semangat Abu Bakar melonjak. Kalau keberadaan serta sosok Nabi saja sudah mampu menjadi “jaminan” bagi ketenangan Abu Bakar, apalagi ketika menyimak kata-kata Nabi kepadanya. “Laa Tahzan—jangan bersedih!” Dan, keteguhan Abu Bakar bertambah-tambah ketika Nabi mengatakan bahwa mereka sebenarnya tidak hanya berdua. Bersama mereka juga “ada” Allah yang terus menyertai perjalanan ini.
Adakah sebutan paling indah yang diharapkan umat Islam selain sebutan sahabat oleh junjungannya? Maka, sebuah persahabatan yang menyelamatkan adalah yang di dalamnya mempersyaratkan adanya sikap dan amal seseorang yang mampu menyelamatkan sahabatnya. Sahabat dalam perspektif ini menjangkau makna yang sangat luas. Suami bisa jadi sahabat bagi istrinya dan istri bisa menjelma sahabat bagi suaminya.
Guru bisa menjadi sahabat bagi muridnya dan para murid bisa jadi sahabat bagi gurunya. Ulama bisa bersahabat dengan umatnya dan umat bisa menjadi sahabat bagi ulama, guru-guru mereka.
Maka, suami yang baik adalah yang menyertakan Allah dalam persahabatan dengan istrinya. Sebagaimana juga istri yang baik adalah yang senantiasa mengajak suaminya bersahabat dalam lindungan Allah SWT.
Jika ada guru yang menyebabkan para murid putus asa, tidak bergembira, tidak mampu membuat mereka bersemangat, serta kehadirannya justru membuat mereka merasa tidak nyaman, guru seperti ini kurang tepat dijadikan sahabat.
Demikian sebaliknya, jika para murid tidak mampu menaikkan derajat kesalehan guru di hadapan Allah, persahabatan itu sangat penting untuk ditinjau kembali kelanjutannya.
Dengan demikian, isyarat persahabatan yang baik itu jelas ukurannya. Seperti Nabi dengan Abu Bakar, persahabatan terbaik adalah yang saling menggembirakan. Memberi kabar gembira, bukan semata karena persahabatan itu adalah mitsaq yang akan menyelamatkan di dunia hingga akhirat, tetapi lebih dari itu, karena persahabatan direstui, diridhai, dan bersamaan dengan taufik Allah SWT. Taufik adalah bersamanya kehendak Allah dengan kehendak kita.
Sebagaimana ajaran Ibnu ‘Athoillah pada awal tulisan refleksi ini, ada baiknya kita bersegera meninggalkan teman, kawan, karib, rekan yang keadaannya tidak membuat kita bersemangat melakukan kebajikan. Sebagaimana kita mesti menjauhi orang-orang yang selama ini kita anggap dekat, tapi ternyata tidak mampu membuat kita semakin dekat dengan Allah SWT. Maka, pandai-pandailah memilih sahabat. Wallahu a’lam bis shawab.