REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Warga Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah tidak akan bisa menyaksikan semaraknya warna-warni, aneka mainan gerabah, pasar malam maupun kemeriahan arak- arakan Dugderan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sebab, pandemi Covid-19 membuat suasana jelang Ramadhan tahun ini berbeda.
Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang mengisyaratkan untuk meniadakan berbagai hajat, yang berpotensi terhadap keramaian warga dalam tradisi Dugderan. Kendati begitu, tradisi tersebut bakal tetap dipertahankan sebagai entitas budaya umat Islam yang ada di ibu kota Provinsi Jawa Tengah tersebut.
"Tradisi Dugderan tetap akan digelar untuk menyambut Ramadhan kali ini, namun tentunya bakal dilaksanakan dengan konsep yang berbeda," ujar Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi saat dikonfirmasi Selasa (21/4).
Menurutnya, alasan utamanya tak lain karena pelaksanaan tradisi Dugderan pada Ramadhan kali ini harus berlangsung di tengah-tengah situasi penanganan pandemi Covid-19, yang mensyaratkan epatuhan pada protokol kesehatan.
Di satu sisi, Dugderan juga harus ada, karena merupakan manifestasi budaya umat Islam yang ada di Kota Semarang yang perlu dilesarikan dalam menyambut datangnya bulan yang penuh rahmat dan berkah tersebut. Tetapi, pelaksanaannya tidak akan melibatkan banyak orang, tidak ada pasar malam Dugderan serta arak- arakan warak ngendhog seperti lazimnya tradisi ini digelar.
"Intinya tetap menyesuaikan protokoler kesehatan," tegasnya.
Di tengah situasi penanganan pandemi Covid-19 seperti sekarang, tidak dimungkinkan jika hajat tradisi ini digelar secara besar dengan pawai maupun pasar malam seperti halnya pelaksanaan di tahun- tahun sebelumnya. Sebagai gambaran, jelas Hendi, sapaan akrab Hendrar Prihadi, kalaupun dilaksanakan nantinya juga tidak akan melibatkan banyak unsur masyarakat dan para pemangku kepentingan yang ada di lingkungan pemerintahan kota Semarang.
Namun tidak akan meninggalkan prosesi tabuh bedug, yang diawali dengan halaqah para ulama dalam menentukan awal Ramadhan, dan sudah berlangsung sejak tahun 1882 guna menandai awal ibadah puasa.
"Makanya hanya wali kota dan wakil wali kota saja yang akan ke masjid Kauman untuk memukul bedug sebagai pertanda akan dilaksanakan Ibadah Puasa. Karena memang esensi Dugderan kan tradisi menjelang puasa di Semarang," ucapnya.
Sementara Budayawan Kota Semarang, Yongki Tio mengatakan ada dilema dalam pelaksanaan tradisi Dugderan tahun ini. Ia mengatakan, sayang jika tradisi Dugderan harus dihilangkan, sebaliknya jika dirayakan seperti pada umumnya juga memiliki risiko yang besar, apalagi di tengah wabah Covid-19 seperti sekarang.
Maka, ia pun sepakat dengan Wali Kota Semarang jika pelaksanaan kali ini harus disederhanakan, yang penting, simbol- simbol dan esensi dari tradisi Dugderan ini tetap dipertahankan.
Penyederhanaan, seperti meniadakan pasar malam Dugderan, pawai atau arak- arakan warak ngendog yang menjadi puncak kemeriahan Dugderan menurutnya sudah tepat, karena itu berpotensi terhadap penyebaran wabah Covid-19.
Namun ia berharap, walaupun tidak diarak, warak ngendog harus tetap ada, karena ini menjadi simbol akulturasi budaya yang merepresentasikan umat Islam di Semarang, sejak tradisi Dugderan ini ada.
Warak harus ada sebagai pertanda di lingkungan Masjid Agung Semarang (Masjid Kauman) sebagai tempat muasal tradisi ini dan tidak perlu di arak yang bisa mengundang orang dalam jumlah yang banyak. "Namun sebagai pelengkap prosesi Dugderan di lingkungan Masjid Agung Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) untuk prosesi pengumuman halaqah ulama serta pemukulan bedug dan bunyi petasan," jelas Yongki.
Ia menambahkan, dalam siatuasi wabah Covid-19 seperti sekarang ini, semua pihak harus bisa menerima dengan bijak dan yang paling utama adalah mempertimbangkan keamanan serta kepentingan orang banyak.
"Jangankan untuk kegiatan- kegiatan besar, bahkan untuk aktivitas keagamaan , yang selama ini menjadi persoalan sangat sensitif, pun, Pemerintah juga melakukan pembatasan- pembatasan," jelasnya.