REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – DDTC Fiscal Research memprediksi penerimaan pajak tahun ini hanya 97,2 persen hingga 97,6 persen dari outlook pemerintah atau berkisar antara Rp 1.218,3 triliun sampai Rp 1.223,2 triliun. Artinya, kinerja penerimaan pajak diestimasi mengalami kontraksi 8,5 persen hingga 8,2 persen dibandingkan 2019.
Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro mengatakan, perlambatan tersebut tidak terlepas dari tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satunya terhadap pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan.
"Sebab, aktivitas ekonomi para pelaku usaha banyak yang terhambat akibat keterbatasan mobilitas, baik dalam maupun antarnegara," ujar Denny dalam diskusi "Pandemi Covid-19 dan Prospek Pajak ke Depan" melalui live streaming, Selasa (21/4).
Meski demikian, Denny menambahkan, PPh pasal 21 untuk pekerja diperkirakan berpotensi masih menjadi andalan. Sebagaimana tercatat per akhir Maret 2020, PPh yang berasal dari karyawan masih tumbuh 4,94 persen menjadi Rp 36,58 triliun.
Denny menilai PPh pasal 21 dapat terus menjadi andalan sumber penerimaan negara sepanjang tahun dengan satu syarat. "Pemerintah mampu mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja," tuturnya.
Selain PPh pasal 21, Denny menyebutkan, pajak pertambahan nilai (PPN) juga bisa menjadi andalan selama tingkat konsumsi masyarakat domestik terjaga. Sampai akhir Maret 2020, PPN masih tumbuh 10,72 persen menjadi Rp 51,63 triliun.
Hal tersebut tecermin dari outlook perekonomian pemerintah yang menilai tingkat konsumsi rumah tangga masih akan tumbuh berkisar 3,2 persen sepanjang tahun. Namun, PPN berbasis impor tampaknya akan menghasilkan pertumbuhan negataif atau mengalami kontraksi.
Pasalnya, perdagangan internasional menurun seiring dengan tekanan dari pandemi. "Tidak mengherankan pajak berbasis kegiatan impor berpotensi paling terdampak tahun ini," kata Denny.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperhitungkan penerimaan pajak sepanjang 2020 akan kontraksi hingga 5,9 persen dibandingkan tahun lalu. Kondisi ini jauh memburuk dibandingkan pertumbuhan positif pada 2019, yaitu 1,4 persen dibandingkan 2018.
Sri menjelaskan, ada berbagai faktor yang menyebabkan kontraksi pada penerimaan pajak. Di antaranya, penurunan pertumbuhan ekonomi serta perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia. "Kemudian, adanya fasilitas pajak insentif pada stimulus kedua," tuturnya dalam telekonferensi rapat kerja Komisi XI, Senin (6/4).
Pada stimulus kedua, pemerintah menganggarkan Rp 22,5 triliun untuk stimulus fiskal kepada sektor manufaktur. Saat ini, Sri menambahkan, pemerintah juga sedang memformulasikan relaksasi pajak tambahan berupa perluasan stimulus untuk hampir semua dunia usaha terdampak yang berpotensi menekan penerimaan pajak.