REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan harga minyak dunia yang terus mengalami penurunan bisa menambah defisit anggaran hingga Rp 12,2 triliun. Keterangan BKF yang diterima di Jakarta, Rabu (22/4), menyatakan proyeksi itu terjadi apabila harga ICP minyak lebih rendah dari asumsi harga ICP minyak yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020.
"Perubahan ICP akan berdampak terhadap APBN mengingat baseline asumsi harga ICP dalam Perpres 54/2020 adalah 38 dolar AS per barel untuk harga rata-rata sepanjang 2020," sebut keterangan pers tersebut.
Dengan demikian, jika harga minyak dunia terus mengalami penurunan sehingga ICP menjadi 30,9 dolar AS per barel rata-rata setahun maka defisit diperkirakan bertambah Rp 12,2 triliun.
Pemerintah terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif termasuk pengendalian defisit, salah satunya melalui evaluasi atas belanja nonproduktif. Selain itu, pemerintah juga akan mengambil langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam kesempatan ini, BKF menyatakan harga minyak mentah dunia menurun sejak awal tahun karena aktivitas ekonomi global terdampak wabah Covid-19 yang eskalatif.
Harga terus menurun sejak Senin (13/4), terutama jenis West Texas Intermediate (WTI), yang disebabkan oleh permintaan global yang semakin menurun dan sentimen negatif dari perekonomian global.
Saat ini, harga WTI kontrak Mei berada pada level negatif, sempat minus 37 dolar AS per barel, sehingga produsen harus segera menyerahkan stok kepada konsumen karena faktor penyimpanan terbatas.
Namun, kondisi ini diperkirakan berdampak secara jangka pendek, mengingat harga jual WTI kontrak pada Juni masih berkisar pada 20 dolar AS per barel. Sementara itu, harga ICP minyak Indonesia sekarang ini masih sedikit di atas harga minyak Brent.