REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang permohonan terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Sidang dengan agenda pendahuluan akan digelar pada 28 April 2020 mendatang.
Sidang tersebut akan digelar pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat. MK akan menggabungkan sidang tiga permohonan uji konstitusionalitas Perppu 1/2020 dengan pemohonnya masing-masing.
"Perkaranya ada tiga, masing-masing dengan pemohonnya sendiri-sendiri, tapi sidang digabung," ujar Juru Bicara MK, Fajar Laksono saat dikonfirmasi Republika, Rabu (22/4).
MK telah menerima tiga permohonan uji konstitusionalitas Perppu 1/2020. Pertama, permohonan diajukan sejumlah pemohon perseorangan, diantaranya Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dkk yang teregistrasi dengan Nomor 23/PUU-XVIII/2020.
Permohonan kedua dengan Nomor 24/PUU-XVIII/2020 diajukan sejumlah organisasi masyarakat, yakni Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA). Ketiga, MK menerima permohonan baru dari Damai Hari Lubis yang langsung diregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XVIII/2020.
Sidang pendahuluan ketiga perkara tersebut akan digelar dengan mengacu pada ketentuan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mencakup jaga jarak fisik (physical distancing) dengan mengikuti protokol kesehatan yang melibatkan Satgas Covid-19 MK.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan Perppu pada 31 Maret 2020 lalu dalam menghadapi pandemi Covid-19. Perppu tersebut diterbitkan dengan dasar adanya implikasi pandemi Covid-19 yang berdampak buruk terhadap sistem keuangan negara.
Hal ini dilihat berdasarkan penurunan berbagai aktivitas domestik sehingga Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan tindakan antisipasi dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan dengan menerbitkan Perppu 1/2020.
Akan tetapi, tindakan pemerintah tersebut dipertanyakan secara konstitusionalitas oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya permohonan ke MK yang meminta agar Perppu 1/2020 tersebut diuji secara konstitusional.
Para pemohon menilai Pasal 27 Perppu 1/2020 berpotensi menjadikan pejabat atau penguasa seperti KKSK kebal hukum. Sebab, Pasal 27 Perppu 1/2020 menyebut KSSK atau pun pejabat pelaksana Perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara pidana dan perdata.
Selain kewenangan yang dinilai kebal hukum, Pasal 27 Perppu 1/2020 juga dinilai berpotensi memunculkan korupsi. Karena adanya Pasal 27 ayat (1) terutama frasa “bukan merupakan kerugian negara”.
Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat. Apalagi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur keuangan negara dalam kondisi tidak normal atau darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).
Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Perppu 1/2020 tidak memenuhi tiga syarat “kegentingan memaksa” sebagai parameter perlunya Presiden menerbitkan sebuah Perppu berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Tiga syarat tersebut, yakni adanya keadaan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutukan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan mendesat tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Menurut Pemohon, Perppu 1/2020 membahas mengenai masalah keuangan dan anggaran negara, sementara anggaran negara sudah ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kemudian alasan pandemi Covid-19 yang menjadi alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi.
Indonesia tercatat telah memiliki UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang dapat dijadikan dasar hukum mengambil kebijakan penanganan Covid-19.