REPUBLIKA.CO.ID, Keputihan yang dialami kaum wanita dalam istilah fiqih Islam disebut dengan ifrazat, yaitu lendir atau cairan yang keluar dari organ reproduksi wanita selain madzi atau mani.
Para ulama dari berbagai mazhab memang berbeda pendapat soal status dari cairan tersebut. Hal ini juga berujung pada perbedaan hukum fikihnya. Apakah jika ifrazat tersebut keluar bisa membatalkan wudhu? Serta hukum-hukum lainnya.
Beberapa kalangan Mazhab Syafi'iyah dan Hanabilah mengatakan, ifrazat termasuk kepada golongan najis. Hal ini diterangkan ulama Syafi'iyah, asy-Syairazi dalam kitab al-Muhadzab dan kitab at-Tahdzib dan, serta ulama mazhab Hanbali, Qadhi Abu Ya'la.
Menurut Abu Ya'la, cairan keputihan dekat kiasannya dengan madzi sedangkan madzi sendiri hukumnya najis.
Sementara, ulama Hanafiyah dan kelompok mazhab Syafi'iyah yang lain memandang ifrazat tidaklah najis. Pendapat ini datang dari ulama-ulama Mazhab Syafi'i lainnya seperti Ibnu Qudamah.
Menurutnya, ulama yang memandang ifrazat sebagai najis karena keluar dari organ reproduksi wanita yang bukan sebagai unsur terciptanya seorang anak. Hal ini sama dengan darah haid dan nifas.
Sementara, menurutnya, ifrazat bisa dikategorikan suci. Cairan keputihan lebih dekat kiasannya dengan mani, bukan dengan darah haid atau nifas. Berdalil dari riwayat Aisyah RA yang pernah mengorek mani di baju Rasulullah SAW. “Aku mengerik mani itu dari baju Rasulullah SAW,” terang Aisyah RA dalam hadis riwayat Muslim dan Nasai.
Hal ini menandakan mani tidaklah najis. Karena, yang namanya mengorek tidak akan bisa bersih sempurna. Adapun sisa-sisa dari mani yang mengering tersebut tetap dipakai Rasulullah SAW untuk shalat.
Ibnu Qudamah mengatakan, mani yang ada di baju Nabi SAW tersebut adalah bekas hubungan badan, bukan mani dari mimpi basah. Karena, para nabi tidak mengalami mimpi basah.
Tentulah status mani tersebut keluar dari hubungan badan. Lebih detailnya lagi, mani yang sudah bercampur dari mani Rasulullah SAW dan Aisyah RA kemudian menempel di kain. Ini menandakan mani dari perempuan juga tidak bisa disebut najis.
Jika cairan keputihan dihukum najis, sama halnya menghukum mani dengan najis pula. Mani tidaklah najis karena dia adalah unsur terciptanya manusia. Tidak mungkin mengatakan manusia berasal dari najis. Rasulullah SAW pun pernah melakukan shalat dengan pakaian yang terkena mani.
Ulama Syafi'iyah lainnya, Imam Nawawi, menerangkan akar masalah perselisihan para ulama soal cairan keputihan. Para ulama memperselisihkan sifatnya, apakah disamakan dengan madzi dan irq (cairan kemaluan) atau dengan mani. Perbedaan jenis ifrazat ini mempengaruhi hukumnya.
Asy Syairazi bersikukuh menyebutnya najis karena lebih dekat jenisnya dengan madzi. Sementara, Baghawi dan ar-Rafii berpendapat ifrazat adalah suci. Namun, pendapat Imam Syafi'i sendiri yang paling masyhur mengatakan status ifrazat adalah suci. Demikian disebutkan al-Hawi dalam Al-Majmu' (2/570).
Ulama Mesir, Syekh Musthofa al-Adawi mengatakan, tidak ada dalil yang sharih (jelas dan tegas) soal hukum ifrazat. Apakah cairan keputihan tersebut najis atau suci, tidak ditemui hadis-hadis yang secara tegas menghukuminya sebagai najis.
Cairan keputihan yang keluar dari organ reproduksi wanita adalah hal yang wajar terjadi, bahkan pada masa silam. Kendati demikian, tidak ada sahabiyah yang menanyakan hukum ifrazat ini kepada Rasulullah SAW, padahal mereka hanya memiliki satu pakaian. Jika ifrazat tersebut najis, tentulah Rasulullah SAW akan mengingatkan kaum wanita.
Jadi, lebih baik dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu suci. Segala sesuatu hukum asalnya adalah suci. Jadi, keputihan yang ada di organ reproduksi wanita statusnya suci. Demikian disebutkan dalam Jami'ul Ahkam An-Nisa (Kumpulan Hukum-Hukum Soal Wanita) (1/66). Lantas bagaimana jika cairan ifrazat tersebut keluar bisa membatalkan wudhu? Jawabannya tentu saja tidak. Ini menurut pendapat yang paling kuat.