REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, pengolahan limbah semakin penting di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang. Penambahan jumlah limbah infeksius B3 diperkirakan terjadi dengan masif, termasuk di daerah-daerah yang belum memiliki insinerator memadai.
Hal itu tercermin dengan fakta bahwa dari 132 rumah sakit rujukan yang ditunjuk pemerintah untuk merawat pasien Covid-19, baru 20 yang memiliki insinerator berizin. Angka itu berasal dari data KLHK sampai April 2020.
"Tapi apakah praktik (pengolahan limbah infeksius) itu bisa dilakukan untuk hari-hari ini? Karena daerah remote (terpencil) itu sulit. Di sana ada rumah sakit, ada puskesmas, tapi bagaimana cara pengolahan yang tepat di daerah kepulauan?" kata dia dalam diskusi Hari Bumi via konferensi video yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Rabu.
Rosa mengatakan, perlu dicari solusi pengolahan limbah B3 yang tepat untuk negara kepulauan luas seperti Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya belum menemukan teknologi pengolahan limbah yang tepat untuk kepulauan.
Rosa menjelaskan, salah satu teknologi yang sering digunakan untuk pengolahan limbah B3 saat ini adalah insinerator atau mesin pembakaran sampah dengan temperatur tinggi. Namun, pengolahan dengan insinerasi atau pembakaran tidak menyelesaikan semua persoalan.
Hal itu disebabkan proses insinerator meninggalkan hasil akhir abu ringan yang dapat terlepas ke udara dan menimbulkan polusi. Tidak hanya itu, pembakaran beberapa bahan tertentu seperti plastik yang tidak mencapai suhu yang diperlukan dapat melepaskan dioksin, polutan berbahaya yang dapat menyebabkan kanker.