Rabu 22 Apr 2020 23:32 WIB

Sebanyak 92 Akademisi Tolak Omnibus Law RUU Ciptaker

92 akademisi lintas keilmuan tandatangani petisi tolak Omnibus Law Ciptaker.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3/2020). Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law dan mendesak Pemerintah untuk membatalkanya.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3/2020). Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law dan mendesak Pemerintah untuk membatalkanya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 92 akademisi lintas keilmuan menandatangani sebuah petisi yang berisi pernyataan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker). Sembilan puluh dua akademisi, yang telah menandatangani petisi yag telah disebar sejak Maret 2020 hingga April 2020 terdiri dari 3 profesor, 2 guru besar, 30 doktor, 57 magister, dan 2 Sarjana.

Dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, para akademisi sepakat bahwa omnibus law RUU Ciptaker memunculkan sejumlah persoalan di berbagai sektor. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti mengungkapkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk RUU Cipta Kerja seharusnya tidak semata-mata mengikuti norma ketentuan yang ada di dalam undang-undang dasar, maupun di dalam undang-undang, tetapi juga harus memperhatikan asas. 

Baca Juga

Ia mencontohkan, di dalam UUD 1945 pembentukan UU itu hanya diatur di dalam Pasal 20, Pasal 5 ayat (1), serta Pasa 22D yang melibatkan DPD. Sedangkan faktanya, belum lama DPD justru menyatakan keberatan dengan adanya pembahasan RUU Ciptaker. 

"DPR harus mendengarkan suara DPD, karena di dalam rancangan undang-undang omnibus ini banyak juga diatur mengenai daerah termasuk di dalamnya mengenai pemerintahan daerah," kata Susi, Rabu (22/4).

Selain itu, Susi mengingatkan agar DPR dan Pemerintah tidak mengesampingkan asas demokrasi dan prosedur pembentukan perundang-undangan. Menurutnya prosedur merupakan jantung hukum. Ia menambahkan, tanpa prosedur, maka peraturan atau hukum-hukum subtantif tidak dapat dilaksanakan.

Susi juga mengingatkan bahwa keterbukaan menjadi salah satu asas di dalam pembentukan perundang-undangan. Undang-undang juga mengatakan bahwa masyarakat berhak menyampaikan aspirasi dalam proses pembentukan sebuah undang-undang. 

"Kalau DPR kemudian bersikukuh bersama-sama dengan pemerintah bersikukuh untuk membahas, maka telah terjadi amputasi terhadap demokrasi," tegasnya.

Penolakan terhadap RUU Cipta Kerja juga disuarakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas, Yonariza. Yonariza menilai RUU Cipta Kerja memiliki karakter kapitalisme dan neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat, serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.

"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945", ungkapnya.

Sementara di klaster ketenagakerjaan, akademisi Universitas Trunojoyo Devi Rahayu juga menyatakan sikapnya untuk menolak adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ia menilai RUU Cipta Kerja  menindas kelas pekerja melalui sistem pengupahan berdasar jam kerja. 

"Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, upah dihitung berdasarkan jam kerja dan tentu akan sangat merugikan pekerja karena upah bisa jadi dibawah UMP. Selain itu, upah dengan sistem jam  kerja ini secara otomatis menghapus hak-hak pekerja perempuan yaitu hak atas upah saat izin haid, cuti hamil dan melahirkan," jelasnya.

Selain itu, Devi juga menyoroti sistem outsourcing dan praktik PHK yang berpotensi akan semakin meluas. Melalui omnibus law RUU Ciptaker pekerja akan semakin gampang di-PHK karena pengusaha tidak lagi wajib memberi Surat Peringatan. 

"Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memberi keleluasaan bagi seluruh jenis  kerja untuk dialihdayakan, tidak ada lagi pembeda antara bisnis utama dan kegiatan penunjang", tuturnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum  Universitas Indonesia Andri Wibisana juga menyoroti dampak RUU Cipta Kerja bagi lingkungan. Ia mengungkapkan bahwa lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup. 

"Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan  elementer terkait sanksi administratif dan pidana. Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan, tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup," jelasnya.

Sedangkan di aspek pertambangan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Haris Retno Susmiyati menilai RUU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan banyak masalah. Salah satunya yaitu memberikan kemudahan bagi usaha pertambangan. 

"Hal ini jelas menjadi ancaman baru bagi masyarakat di wilayah tambang, khususnya perempuan dan masyarakat adat yang selama ini menjadi  korban serta menerima dampak buruk terbesar dari beroperasinya kegiatan usaha pertambangan," ujarnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement