REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Arif Satrio Nugroho, Ali Mansur
Penyaluran bantuan sosial (bansos) pada masa pandemi Covid-19 di DKI Jakarta banyak yang tidak tepat sasaran. Salah satu anggota DPRD DKI, Jhonny Simanjuntak, mengaku masuk dalam data penerima bansos.
Jhonny yang bukan termasuk kategori penerima bansos diketahui masuk sebagai penerima bansos untuk Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara. Ia pun menyatakan akan menolak bansos tersebut.
Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPRD DKI Jakarta melalui ketua fraksinya, Gembong Warsono, menilai kasus salah sasaran penyaluran bansos menjadi bukti bahwa pendataan di Jakarta bermasalah. "Sudah disampaikan sebelumnya pendataan harus betul-betul diperhatikan supaya tidak salah sasaran. Tapi, ternyata hal itu masih terjadi dan kebetulan yang tercatat menerima bansos dari Pemprov DKI adalah salah satu anggota Fraksi PDIP, yaitu Pak Jhonny Simanjuntak. Itu artinya Pemprov DKI belum terlalu memperhatikan masalah pendataan. Padahal, itu sudah diingatkan banyak pihak sebelumnya," kata Gembong saat dihubungi di Jakarta, Rabu (22/4).
Karena itu, Gembong mendesak agar Pemprov DKI Jakarta segera memverifikasi pendataan warga yang layak mendapatkan bansos. "Harus dicek dengan benar. Jangan sampai warga yang berhak menerima bantuan justru tidak menerima," tutur Gembong.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto juga menyoroti adanya keluhan masyarakat yang mengaku belum menerima bansos pada masa pandemi Covid-19 ini. Ia menduga banyak masyarakat miskin belum terdata.
"Saya dengar banyak keluhan masyarakat yang merasa berhak menerima kok tidak menerima. Mungkin mereka belum didata karena selama ini mereka tidak masuk dalam data kesejahteraan sosial terpadu, tidak masuk di data kemiskinan, sekarang mereka jadi miskin. Nah, itu pemerintah enggak boleh menutup mata seperti itu," kata Yandri saat dihubungi, Rabu (22/4).
Yandri meminta pemerintah memperbaiki data. Ia menegaskan, jangan sampai ada masyarakat yang kelaparan karena tidak terdata. Ia pun meminta masyarakat yang ekonominya terdampak Covid-19 untuk segera melapor ke pejabat RT/RW setempat secara terbuka.
"Kita mesti bersatu padu dituntut keikhlasan, keterbukaan, transparan. Hilangkan dulu kepentingan politik. Ini masalah bangsa, masalah dunia sekarang," kata politikus PAN itu.
Yandri menjelaskan, berdasarkan laporan Kementerian Sosial, ada 200 ribu sembako untuk Jakarta, kemudian ada tambahan lagi bantuan bahan pokok nontunai untuk sekitar 20 juta kepala keluarga. Yandri mengaku sudah menyampaikan bahwa jumlah yang disiapkan pemerintah masih belum cukup.
Oleh karena itu, Komisi VIII meminta pada Presiden RI Joko Widodo, Kementerian Sosial, hingga seluruh pejabat daerah benar-benar melakukan pemetaan masyarakat miskin. Jika ternyata jumlahnya besar, Yandri menyarankan agar dana pembangunan infrastruktur, pindah ibu kota dan lain-lain dialokasikan untuk rakyat. "Dialokasikan untuk perut rakyat ini dulu karena untuk masalah perut tidak bisa dinegosiasi, ditunda-tunda," kata dia.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui banyak warga yang belum dapat bansos dan banyak bansos yang tidak tepat sasaran. Menurut Anies yang berbicara di Balai Kota Jakarta, Rabu (22/4), hal tersebut karena data yang tidak sempurna. Menurut Anies, hal tersebut biasa terjadi di Indonesia hampir tidak mungkin menemukan data yang super akurat.
"Kami menargetkan bisa memberi 1,2 juta kepala keluarga (KK) dan itu tentu ada 1,2 juta nama. Tentu saja, tidak mungkin sempurna. Dari 1,2 juta, Anda bisa temukan dua nama sama, ketemu 1, 2, 3 (yang tidak tepat sasaran), pasti. Di negeri ini, data yang super akurat sulit. Tidak usah ditutup-tutupi fakta itu. Nah, bagian kita adalah mengoreksinya, terus-menerus meningkatkan kualitas data," ujar Anies.
Koreksi tersebut, Anies melanjutkan, karena banyak yang dahulunya masuk ke dalam data masyarakat miskin saat situasi normal dengan perekonomian bergerak sebagaimana mestinya. Namun, karena keadaan saat ini dengan kegiatan perekonomian yang melemah, di lapangan yang membutuhkan bantuan lebih banyak dibandingkan yang ada dalam daftar yang dimiliki pemerintah.
"Kenapa itu terjadi? Karena banyak yang sekarang tidak memiliki pekerjaan. Banyak yang warungnya tutup. Banyak yang kegiatan kesehariannya tidak berfungsi (secara ekonomi). Di sini kemudian bagian kami adalah memastikan mereka yang miskin baru, prasejahtera baru, masuk di dalam data yang di-update. Sehingga pada distribusi berikutnya, mereka akan bisa mendapatkan bantuan juga," ucap dia.
Pembaruan data
Pemerintah harus memperbarui data masyarakat yang berhak menerima bansos. Pengayaan data yang terintegrasi dengan pemerintah provinsi harus dilakukan secara simultan pada masa penyaluran bansos ini
"Apalagi, di masa pandemi ini, gejolak sosio-ekonomi membuat masyarakat yang sebelumnya tidak masuk kategori miskin, kemudian menjadi rentan miskin," ujar Nopitri Wahyuni, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, dalam keterangan persnya, Selasa (21/4).
Nopitri menyoroti bahwa pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak hanya harus fokus pada data kelompok penerima manfaat bansos yang sudah tertera pada data yang ada. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) fokus pada 40 persen kelompok masyarakat pendapatan bawah. Namun, data pun seharusnya bisa menjawab dinamika masyarakat terdampak krisis sosio-ekonomi dari Covid-19.
"Pembaharuan data sangat penting. Bukan hanya untuk penyaluran bansos, tapi juga untuk memaksimalkan penyaluran bansos lain. Respons yang dibutuhkan jelas memerlukan mekanisme pembaharuan data yang sesuai dengan karakteristik kelompok masyarakat," kata Nopitri menegaskan.
Menurut Nopitri, tantangan penyaluran bansos juga harus memastikan bahwa orang yang terkena dampak mendapatkan bantuan sosial yang relevan. Sementara itu, literasi di masyarakat secara luas akan menjadi tantangan potensi mekanisme pembaharuan data penerima manfaat bantuan melalui teknologi informasi. Apalagi, karakteristik kelompok masyarakat rentan pun beragam.
Pemerintah terkait bukan hanya perlu mengidentifikasi kelompok pendapatan rendah atau masyarakat yang bekerja pada sektor industri yang berisiko tinggi sebagai kelompok miskin atau rentan miskin. Namun, perlu juga dilihat aspek lain yang terkait, seperti kelompok lansia, disabilitas, perempuan maupun anak-anak. Dengan karakteristik tersebut, respons pemerintah pun dapat relevan sesuai dengan penerima manfaat yang disasar.
"Misalnya, kelompok perempuan dan anak akan bisa dijawab melalui program PKH di masa pandemi ini. Semestinya, aspek-aspek tersebut perlu jelas dan terbuka pada data agar respons penanganannya pun tepat dan cepat," tutup Nopitri.
TAKE