REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim tidak hanya mengancam dari sisi fisik saja, seperti yang menyangkut ketahanan umat manusia dan keanekaragaman hayati, tetapi juga terhadap pengetahuan dan kebudayaan. Jika skenario terburuk perubahan iklim terjadi dan pengantisipasinnya tidak berjalan dengan baik maka pengetahuan atau kebudayaan yang ada di suatu daerah dapat ikut hilang.
"Perubahan iklim itu tidak hanya mengancam dari sisi fisik saja, bahwa menyangkut bagaimana kerentantan, ketahanan kita umat manusia mapun spesies keanekaragaman hayati yang lain itu bertahan, tetapi juga menyangkut pengetahuan atau budaya kita ikut hilang," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Parat, Charlie D Heatubun, Kamis (23/4).
Jika skenario terburuk di dalam perubahan iklim terjadi dan langkah pengantisipasiannya tidak dilakukan dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kepunahan suatu endemik. Ketika itu terjadi, pada saat itu juga ikut hilang pengetahuan tentang endemik tersebut.
"Tidak hanya nama lokal (endemik) itu disebutkan, tapi itu juga pintu masuk untuk mengetahui bagaimana pengetahuan dari setiap suku bangsa atau komunitas yang ada di tanah Papua," jelas dia.
Berdasarkan penelitian berjudul "Climate Change Threatens New Guinea's Biocultural Heritage", di mana Charlie turut berpartisipasi, terdapat dua skenario perubahan iklim yang dapat memengaruhi keanekaragaman hayati di Tanah Papua, termasuk Papua Nugini.
Skenario pertama meramalkan, terjadi peningkatan suhu 1,0 derajat celcius pada tahun 2070 dengan asumsi emisi CO2 akan didasarkan pada tata kelola yang lebih baik. Skenario kedua, yang tidak memiliki kebijakan mitigasi perubahan iklim, memperkirakan peningkatan pemanasan global sebesar 2,0 derajat celcius pada tahun 2070.
Untuk kondisi saat ini ditemukan, kekayaan spesies rata-rata di Papua sebesar 711 di mana yang tertinggi ada di bagian Utara Papua. Pada skenario kedua, ditemukan kekayaan spesies rata-rata akan berkurang menjadi 691. Angka tersebut berbeda sedikit dengan angka pada skenario pertama, yakni menjadi 688.
"Jika skenario terburuk itu terjadi di tahun 2070, daearh-daerah ini yang dari sekarang harus kita utamakan. Karena kita tahu perubahan iklim itu bisa diikuti dengan migrasi atau istilahnya species on the move," tuturnya.
Jadi, kata dia, ada jenis hewan atau tumbuhan tertentu yang dapat menjadikan suatu daerah sebagai tempat perlindungan terakhir untuk mereka hidup. Daerah-daerah itu perlu diangkat dan dimasukkan ke dalam kebijakan pembangunan daerah. Menurutnya, secara spasial hal tersebut sangat penting untuk diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang.