Kamis 23 Apr 2020 16:45 WIB

Keistimewaan Mualaf, Disucikan dari Dosa

Begitu masuk Islam, mualaf tidak punya dosa.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ani Nursalikah
Keistimewaan Mualaf, Disucikan dari Dosa
Foto: Republika/Mardiah
Keistimewaan Mualaf, Disucikan dari Dosa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mungkin mualaf mengalami nasib yang lebih baik dibanding Muslim keturunan. Sebab, sejak hidup tak pernah sholat, puasa dan sebagainya, namun ketika masuk Islam, ia bersih dari dosa. Mualaf tidak punya dosa, baik dosa ibadah maupun segala jenis dosa yang lain saat baru masuk Islam.

“Itulah Islam, dan itulah kemahabesaran Allah,” kata Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Jember, Kiai Muhammad Syukri Rifa’ie dilansir dari NU Online, Kamis (23/4).

Baca Juga

Menurutnya, setebal apa pun dosa manusia, bahkan seisi langit dan bumi sekalipun, pintu ampunan masih dibuka oleh Allah, kecuali syirik (kafir). Asalkan dia sungguh-sungguh ingin bertaubat, yakni memenuhi paling tidak tiga kriteria. Kriteria tersebut menghentikan perbuatan dosa yang diperbuatnya, menyesal karena telah melakukan dosa, bukan karena takut akibatnya, dan punya kemauan kuat  tidak mengulangi perbuatan dosanya lagi.

“Kalau syirik, taubatnya ya masuk islam (mualaf), dan memenuhi tiga kriteria tadi. Itu ampunan Allah lebih dahsyat lagi, karena semua dosanya langung dibersihkan,” ujarnya.

Kiai Syukri lalu bercerita masuk islamnya Wahsyi, seorang budak (kafir), pembunuh paman Nabi Muhammad, Sayyidina Hamzah bin Adul Muthalib dalam perang Uhud. Wahsyi tergolong orang yang kejam berlipat-lipat.

Ia tidak puas hanya membunuh Hamzah dengan tombaknya. Wahsyi juga membelah dada Sayyidina Hamzah lalu mengeluarkan jantungnya, memotong hidung, telinga, bibir dan mencungkil kedua matanya lantas dibawakan kepada majikannya Hindun.

“Saya kira tidak ada orang sejahat wahsyi, dia kafir, pembunuh, juga pezina,” ujarnya.

Terkait dengan mualaf, lanjut Kiai Syukri, Allah sudah menegaskan dalam Alquran, surat Al-Anfaal ayat 38 yang berbunyi: "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (ketetapan Allah) terhadap orang-orang dahulu'".

Maknanya, telaga ampunan Allah begitu luas. Allah selalu mendorong bagi manusia untuk tidak putus asa terhadap rahmat (ampunan) Allah. Hal itu sebagaimana firman-Nya dalam Surah Az-Zumar ayat 53 yang berbunyi Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

“Ayat ini turun  sebagai jawaban Nabi Muhammad atas keraguan Wahysi untuk untuk bertaubat (masuk Islam),” jelas Kiai Syukri.

Walaupun demikian, ia berharap agar siapa pun tidak mengandalkan mualaf sebagai penebus dosa. Misalnya dengan membiarkan diri semasa muda kafir sambil berbuat dosa semaunya dengan harapan jika sudah tua mau masuk Islam.

“Tidak bisa seperti itu. Sebab orang masuk Islam itu terkait dengan hidayah. Kalau tak dapat hidayah, tidak bisa meski sudah seperti apa,” ujarnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement