REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sri Tantri Arundhati, menyebutkan, pihaknya memiliki Program Kampung Iklim (Proklim). Program tersebut merupakan program yang bertujuan untuk memberikan semacam kesadaran dan edukasi kepada masyarakat terkait apa yang harus dilakukan agar bisa bertahan dari perubahan iklim.
"Juga memberikan kontribusi kepada masalah perubahan iklim. Kontribusi dalam arti bagaimana kita mengurangi efek gas rumah kaca dan juga bagaimana kita bisa berketahanan dalam menghadapi perubahan iklim," ungkap Sri, Kamis (23/4).
Lokasi pelaksanaan Proklim itu ada di wilayah adminsitratif paling rendah setingkat RW atau dusun dan di wilayah administratif paling tinggi itu setingkat kelurahan atau desa. Suatu kelompok yang mengikuti Proklim pada mulanya harus mengidentifikasi kerentanan dan risiko perubahan iklim di wilayahnya.
Kemudian dilakukan pengembangan dan peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan masyarakat. Setelahnya, dilakukan penyusunan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal berbasis masyarakat.
Lalu, masuk ke tahap pelaksanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal berbasis masarakat. Peningkatan kapasitas akses sumber daya, pendanaan, teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga akan dilaksanakan.
"Selain kita ingin ada kegiatan aksi adaptasi mitigasnya seperti apa, tapi juga kita memerlukan forum masyarakat juga yang terbentuk di situ, apakah itu dalam bentuk kelompok atau sebagainya. Ini menyangkut kontinuitas dari kegiatan yang kita lakukan," tuturnya.
Kegiatan tersebut sudah dilaksanakan di banyak daerah di Indonesia, tetapi belum banyak dilaksanakan di Papua Barat maupun Papua. Kepala Balai PPIKHL Wilayah Maluku-Papua, Prianto, menjelaskan, ada 36 kelompok atau kampung yang sudah diusulkan untuk mengikuti Proklim berdasarkan data tahun 2020.
"Hadir di sini mulai tahun 2016. Jadi empat tahun kami di sini dan memang baru sekitar 36 kelompok yang terdaftar dan itu pun ada yang belum terverifikasi," jelas dia.
Ia menjelaskan, jumlah kelompok yang terdaftar di wilayahnya tidak sebanyak yang ada di wilayah Barat terjadi karena memang yang di wilayah Barat sudah dimulai sejak 2012. Dari 36 kelompok tersebut, sudah ada 14 yang pihaknya usulkan dan memang sudah siap mengikuti Proklim.
"Tapi yang siap masuk di verifikasi itu ada delapan, Maluku enam dan Papua Barat dua. Sedangkan untuk di papua tidak ada karena nilai SRN (sistem registrasi nasional)-nya kurang dari 80," tutur dia.
Prianto mengaku, pihaknya mengalami sejumlah kendala dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi mereka, melakukan fasilitasi pemerintah daerah. Selain terkendala medan yang sulit, pihaknya juga terkendala oleh adanya kebijakan penghematan dana yang cukup besar tahun ini.
"Kami ini tidak bisa bergerak sendiri atau duluan karena kami harus memang mendampingi dari pihak pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup yang punya peran besar di sana," kata dia.