REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA—Leila Chairani Budiman, mengenang almarhum suaminya, Arief Budiman sebagai sosok ‘pencari kebenaran’ dengan keinginan yang kuat tetapi tetap sederhana. Karena itu, kepergian Arief Budiman menyisakan duka mendalam baginya.
Hal ini diungkapkan Lelia, saat ditemui usai prosesi pemakaman Arief Budiman, di Taman Pemakaman Bancaan, lingkungan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (23/4).
Menurutnya, Arief merupakan seorang akademis yang selalu mencari kebenaran dan sosok yang apa adanya. “Pak Arief orangnya lurus, sederhana dan will power–nya besar sekali,” ungkapnya.
Leila juga mengungkapkan, dalam kondisi sakit suaminya tidak pernah mengeluh. Bahkan tetap berusaha untuk melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan, seperti mencoba berjalan mengelilingi meja.
Hingga saat mendapatkan perawatan di Rumah Sakit (RS) Ken Saras, ia juga sempat kaget, karena sebelum kondisinya menurun hingga menghembuskan nafas terakhir, suaminya tersebut juga sempat bernafas, tanpa bantuan alat ventilator.
Baginya itu merupakan semangat serta keinginan yang kuat Arief untuk melawan penyakit yang dideritanya. Karena, dokter yang merawat bilang, kalau ventilator diangkat Pak Arief akan berhenti nafasnya.
Tapi suaminya saat itu bisa bernapas lancar. Demikian pula tensinya juga sempat berangsur normal, dari 190 menjadi 105. “Sehingga pak Arief pun sangat senang dan ada keinginan kuat,” jelasnya.
Leila juga menambahkan, pada saat dibawa ke rumah sakit, kondisi Arief Budiman sudah lemas. Padahal biasanya kaku akibat penyakit parkinson yang dideritanya. “Tapi katanya itu sudah stroke, sehingga lemas sekali,” lanjutnya.
Menjelang akhir hayatnya, masih jelas Leila, Arief Budiman juga semakin religius dan senang menyanyikan lagu- lagu seperti Indonesia Raya dan Indonesia Pusaka. “Itu sering dilakukan bersama dengan Wawan, perawat yang menjaga pak Arief selama ini,” tambahnya.
Arief Budiman lahir pada 3 Januari 1939 dengan nama Soe Hok Djin. Ia adalah abang dari aktivis ternama Soe Hok Gie. Ayahnya seorang wartawan yang bernama Soe Lie Piet. Arief pernah memperdalam ilmu di bidang pendidikan di College d'Europe, Brugge, Belgia pada 1964.
Sejak mahasiswa, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati demikian, Arief bersikap kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto. Misalnya pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Arief pun pernah ditahan karena terlibat dalam demonstrasi menentang pendirian Taman Miniatur Indonesia Indah pada 1972. Arief menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1968.
Ia kemudian melanjutkan kuliah di Paris pada tahun 1972, dan meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980. Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga sejak 1985-1995.
Di universitas tersebut, Arief pernah melakukan aktivitas mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia untuk menjadi profesor di Universitas Melbourne.
Sementara itu, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Neil Rupidara mengungkapkan, Arief Budiman merupakan sosok yang lebih dari sekedar seorang akademisi.
Hal ini dibuktikan dengan reputasinya di tingkat nasional dan juga kiprahnya yang dihormati dan dihargai di tingkat internasional. Terutama terkait dengan kajiannya tentang Indonesia serta pemikirannya yang bisa diterima secara luas.
Baik oleh masyarakat di dalam maupun di luar negeri. “Itu pula yang membuat beliau juga bisa diterima di Melbourne University, Australia atau tempat beliau mengabdi setelah UKSW,” ungkapnya.
Perawat Arief Budiman, Wawan, yang ditemui terpisah mengungkapkan, Arief Budiman memang sudah tidak diperbolehkan beraktivitas yang berat, sejak kembali dari Australia ke Kota Salatiga.
Guna mendukung aktivitasnya, selama di Salatiga, Arief Budiman menjaga kondisinya dengan olahrga ringan, seperti berjalan kaki. Kalau pas ada aktivias keluar Arief juga diantar oleh sopir pribadinya.
“Sebelum ini aktivitas bapak memang hanya di rumah, keluar kota hanya ke Yogyakarta dan itupun hanya untuk mengajar. Tapi sudah lama juga beliau istirahat dari rutinitas tersebut,” jelasnya. n