REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, pemerintah perlu memastikan adanya perlindungan terhadap data-data nasabah teknologi finansial (fintech) terutama dalam masa pandemi COVID-19 yang diperkirakan bakal meningkatkan aktivitasnya.
"Diberlakukannya berbagai kebijakan sebagai bentuk mitigasi pandemi COVID-19, seperti social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi sebagian kelompok masyarakat. Hal ini akan mendorong mereka mendapatkan uang lewat pinjaman online peer-to-peer (P2P) yang merupakan salah satu jenis teknologi finansial," kata Ira Aprilianti dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (23/4).
Menurut Ira, saat ini pinjaman P2P luput dari kebijakan restrukturisasi pinjaman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akibat COVID-19. Padahal, lanjutnya, data OJK menunjukkan adanya kenaikan akumulasi penyaluran pinjaman online sebesar 17,05 persen pada Februari 2020 dibandingkan Desember 2019.
Selain itu, ujar dia, data OJK juga menunjukkan Tingkat Wanprestasi 90 (TKW90) yang merupakan ukuran tingkat wanprestasi atau gagal bayar di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo, naik dari 3,65 persen pada Desember 2019 menjadi 3,92 persen pada Februari 2020.
"Keberadaan fintech ilegal juga perlu diwaspadai. Sejak Januari 2020 sampai Maret 2020, Satgas Waspada Investasi (SWI) Menemukan 508 entitas pinjaman online ilegal. SWI juga mengidentifikasi bahwa sasaran fintech ilegal adalah masyarakat yang memiliki kerentanan keuangan yang membutuhkan uang secara cepat dan persyaratan mudah guna memenuhi kebutuhan pokok maupun konsumsinya. Dibandingkan dengan fintech legal, fintech ilegal lebih berbahaya karena tidak terikat dengan aturan OJK dan asosiasi serta tidak berada dalam pengawasan mereka," ucapnya.
Untuk itu, ia menginginkan agar OJK melakukan restrukturisasi pasar teknologi finansial, yang meliputi standar operasional bisnis pinjaman online, penggunaan Fintech Data Center (FDC) yang optimal untuk risk assessment dan perlindungan konsumen. Hal ini juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan untuk memperkuat perlindungan data nasabah.
Ia menjelaskan, standar operasional bisnis pinjaman online yang perlu diatur meliputi, perlindungan data, transparansi bunga dan biaya yang harus dibayar peminjam dan standar proses penagihan utang.
"Yang sering bermasalah adalah penggunaan data konsumen secara eksesif seperti kontak, lokasi, dan galeri dalam telepon seluler yang digunakan untuk proses penagihan utang yang intimidatif," kata Ira.
Terkait informasi kredit, lanjutnya, OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memang membutuhkan data komprehensif yang terus diperbaharui, baik melalui Fintech Data Center (FDC) maupun Standar Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Sebelumnya, AFPI mengungkapkan tingkat kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) fintech lending masih tergolong sehat di tengah pandemi COVID-19.
"Untuk tingkat kredit bermasalah atau NPL belum terlihat. Dari hasi survei tersebut, mayoritas anggota AFPI menyatakan Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) tercatat stabil," ujar Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam diskusi daring atau online di Jakarta, Senin (20/4).
Dia menjelaskan bahwa hingga Februari 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat TKB90 yang menjadi tolak ukur industri fintech berada di angka 96,08 persen atau NPL 3,92 persen, di mana angka tersebut dinilai masih tergolong sehat untuk industri ini.
“COVID-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara Fintech P2PL. Pandemi COVID-19 juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran pinjaman berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru," kata Kuseryansyah.