Jumat 24 Apr 2020 15:24 WIB

Ada 3 Tingkatan Puasa, Manakah yang akan Kita Jalani?

Ulama membagi tingkatan puasa menjadi tiga tingkatan.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Ulama membagi tingkatan puasa menjadi tiga tingkatan. Ilustrasi Ramadhan
Foto: Pixabay
Ulama membagi tingkatan puasa menjadi tiga tingkatan. Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Puasa bagi Muslim tak sekadar menahan lapar dan dahaga serta dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Pengurus Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustaz Imron Baehaqi, menjelaskan tiga tingkatan puasa. Di antaranya puasa umum, puasa khusus dan puasa khusus dari yang khusus.

Baca Juga

Dia mengutip Minhaj Al Qashidin yang ditulis Imam Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi bahwa ada tiga tingkatan puasa.

"Yang dimaksud dengan puasa umum tidak lain adalah menahan perut dari rasa lapar dan dahaga, termasuk menahan farj dari dorongan syahwat," kata Ustaz Imron saat diwawancarai Republika.co.id belum lama ini. 

Dia menerangkan, jika tidak mampu menahan lapar dan dahaga serta syahwat, maka otomatis puasanya batal. Bahkan bagi pasangan suami istri yang melakukan hubungan intim atau jima di waktu berpuasa, maka mereka harus membayar kafarat.

Tingkatan kedua puasa yaitu puasa khusus. Maksudnya adalah menahan penglihatan, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari perkara-perkara yang menimbulkan dosa atau maksiat. Sambil tetap menahan lapar, dahaga dan syahwat.

"Sedangkan, yang dimaksud dengan puasa khusus dari yang khusus, yaitu menjaga hati dan pikiran yang dapat menjauhkan jiwanya dari mengingat Allah SWT," ujar ustaz yang menjadi Ketua Umum Ikatan Alumni Libia Indonesia (IKALI) ini.

Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan FIKES UHAMKA Jakarta ini mengatakan, untuk menjaga kualitas ibadah puasa, maka wajib menjaga ketentun fiqih dan adabnya. Umat Islam perlu menjaga mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan yang menimbulkan dosa atau maksiat.

Terutama lisan dan tangan yang sering sekali berpotensi merusak ibadah puasa, hendaklah dikontrol sebaik mungkin. Kata-kata dan tulisan tangannya benar-benar berpuasa, artinya tidak mengeluarkan perkataan dan tulisan keji, kotor, dan menyakitkan.

"Seperti membohong, memfitnah, menghina, mencela, ujaran kebencian dan sebagainya. Sebab, jika mengabaikan adab-adab ini, niscaya ibadah puasanya menjadi sia-sia. Hanya mendapat lapar dan haus saja," jelasnya.

Ustaz Imron menyampaikan, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk, maka tidak ada kepentingan bagi Allah atas jeri payahnya meninggalkan makan dan minumnya." (HR Bukhari).  "Ciri orang mukmin ialah berucap yang baik-baik, jika tidak maka lebih baik diam," kata Ustaz Imron.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement