REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Zakat fitrah dikenal sebagai suatu kebiasaan wajib (sunnah wajibah) atas setiap individu umat Muslim. Zakat fitrah juga mengandung hikmah serta keutamaan yang perlu diketahui.
Dalam kitab Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri disebutkan, posisi zakat fitrah secara hukum pernah disinggung Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar.
Abdullah bin Umar berkata: “Faradha Rasulullah SAW zakatal-fithri min ramadhana sha’an min tamrin aw sho’an min sya’irin alal-abdi wal-hurri, wa-dzakari, wal-untsa, wa-shagiri, wal-kabiri, minal-muslimin,”. Yang artinya: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha (2,176 kg) kurma atau satu sha gandum atas budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa dari kaum Muslimin,”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Adapun keutamaan zakat fitrah bagi seorang hamba adalah untuk membersihkan harta serta jiwa. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa zakat fitrah dapat menjadi pembersih untuk semua Muslim yang menjalankan ibadah puasa sekaligus mensucikan dari segala hal yang tidak bermanfaat.
Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 103 berbunyi: “Khudzu min amwalihim shadaqatan tathohiruhum wa tuzakihim biha,”. Yang artinya: “Ambil lah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan mensucikan mereka,”.
Dalam kondisi normal, zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan karena kaum Muslimin telah usai menjalankan puasa Ramadhan. Dalam kondisi normal dibolehkan jika zakat fitrah ditunaikan sehari atau dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Lantas, bagaimana bila zakat fitrah ini dipercepat pengeluarannya dalam kondisi darurat akibat kegentingan pandemi virus corona jenis baru (Covid-19)? Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAEI) Setiawan Budi Utomo mengatakan, merebaknya wabah Covid-19 dapat dikategorikan sebagai bencana dengan kondisi genting.
Untuk itu, menurutnya, dibolehkan pengeluaran zakat lebih awal tanpa pembatasan waktu demi kemaslahatan umum. Hal itu sebagaimana penjelasan dari Imam Ibnu al Qudamah Al Maqdisi dalam kitabnya Al Mughni di Juz IV halaman 300-301. Imam Ibnu Qudamah berpendapat, jika zakat fitrah dibayarkan satu atau dua hari sebelum Idul Fitri hal itu bisa dikatakan sah.
"Ringkasnya, boleh saja mendahulukan pembayaran zakat fitrah satu atau dua hari sebelum Idul Fitri, namun tidak diperkenankan lebih daripada itu," kata Setiawan dalam keterangan pers yang diterima Republika beberapa waktu lalu.
Dia pun mengutip perkataan Ibnu Umar yang berkata: "Kaanu yujthunaha qablal-fithri biyaumin aw yaumaini." Yang artinya: "Mereka (para sahabat) dahulu menyerahkan zakat fitri satu atau dua hari sebelum Idul Fitri." Hal ini merupakan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Abu Daud.
Sebagian ulama Hambali, kata dia, berpendapat boleh menyerahkan zakat fitrah lebih segera, yaitu setelah pertengahan bulan Ramadhan sebagaimana boleh menyegerakan azan shubuh atau keluar dari Muzdalifah saat haji pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah, setelah pertengahan malam.
Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat, boleh menunaikan zakat fitrah dari awal tahun. Karena zakat fitrah pun termasuk zakat sehingga serupa dengan zakat maal (zakat harta).
Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat boleh menunaikan zakat fitrah sejak awal bulan Ramadhan sebab adanya zakat fitrah adalah karena puasa dan perayaan Idul Fitri.
"Jika salah satu sebab ini ditemukan, maka sah-sah saja jika zakat fitrah disegerakan sebagaimana pula zakat maal boleh ditunaikan setelah kepemilikan nishab," ujarnya.
Perintah untuk mencukupi kebutuhan dasar fakir miskin merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW dengan telah ditunaikannya zakat fitrah di malam atau satu dua hari sebelum Idul Fitri bermakna wajib dalam kondisi normal. Karena sebab wajibnya zakat fitrah karena adanya Idul Fitri, kata dia, itulah mengapa zakat fitrah disandarkan pada kata fithri.
Sedangkan di sisi lain, zakat maal dikeluarkan karena telah mencapai nishab. Dia menjelaskan maksud zakat maal juga adalah untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin setahun penuh.
Jadi, zakat maal sah-sah saja dikeluarkan sepanjang tahun. Adapun zakat fitrah itu berbeda karena maksudnya adalah mencukupi fakir miskin di waktu tertentu.
"Oleh karenanya, zakat fitrah tidak boleh didahulukan dari waktunya (dalam kondisi normal)," ujar Setiawan.
Dia menjelaskan jika mendahulukan zakat fitrah satu atau dua hari sebelumnya, hal itu masih dibolehkan. Sebagaimana ada riwayat dari Imam Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Umar, ia berkata: "Faradha Rasulullah SAW shadaqatal-fithri min ramadhan. Wa qala fi akhirihi: wa kanu yu'thuna qablal-fithri biyaumin aw yaumaini." Yang artinya: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithrah dari bulan Ramadhan. Disebutkan di akhir hadits: Mereka para sahabat menunaikan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya."
Sehingga menurutnya, perkataan ini menunjukkan inilah waktu yang dipraktikkan oleh seluruh sahabat, sehingga hal ini bisa disebut kata sepakat mereka (ijma’). Sebab, kata dia, mendahulukan zakat fitrah seperti itu tidak menghilangkan maksud penunaian zakat fitrah itu sendiri.
Alasannya, menurut Setiawan, karena harta zakat fitrah tadi masih bisa bertahan keseluruhan atau sebagian sampai hari Raya Id. Sehingga orang miskin tidak sibuk keliling meminta-minta (untuk kebutuhan mereka) pada hari Id. Itulah kiranya menurut dia perihal zakat yang sifat hukumnya boleh saja didahulukan beberapa saat dari waktu wajibnya seperti zakat maal.
"Kondisi untuk percepatan pembayaran zakat fitrah saat ada Covid-19 ini terutama dalam rangka membantu meringankan beban masyarakat sangat dibolehkan," ujarnya.