Sabtu 25 Apr 2020 04:49 WIB
Pandemi

Pandemi Dalam Alquran: Catatan Riset Dokter Hindia Belanda

Pandemi di dalam Alquran dalam catatan riset dokter masa Hindia Belabda

Suasana Batavia pada zaman Hindia Belanda ketika terjadinya pandemi flu spanyol pada tahun 1920.
Foto: google.com
Suasana Batavia pada zaman Hindia Belanda ketika terjadinya pandemi flu spanyol pada tahun 1920.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh
: DR Imas Emalia, Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta*

Bagi para peneliti ilmu kesehatan dan bidang kedokteran, nama dr. Ahmad Ramali tidak asing lagi. Dia seorang dokter pemerintah asal Sumatra yang lulus School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) tahun 1928 yang kemudian ditugaskan di beberapa tempat di Sumatra dan Jawa. Dokter Ahmad Ramali seringkali mengulas keterkaitan kesehatan dengan Islam dalam karya-karyanya,  termasuk disertasinya. 

Pada 1933 ia menulis beberapa artikel tentang Bijdrage tot Medisch-Hygienische Propaganda in eenige Islamitische streek pada majalah Medische Propaganda van den Dienst der Volkgezondheid (MDVG) jilid 1. Banyak artikelnya dengan judul yang sama namun pembahasan yang berbeda, seperti ‘pentingnya kebersihan dan kesehatan’ sebagai pondasi hukum Islam.

Pada masa itu, ia menulis artikel tersebut dengan tujuan sebagai sumbangan pemikirannya bagi program propaganda kebersihan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya bagi daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Muslim. Pada beberapa tugasnya, ia menjelaskan bahwa kebersihan itu penting dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Area kehidupan yang harus dibersihkan adalah mulai gigi hingga kemaluan.

Selain kaitannya dengan kebersihan, dalam melaksanakan tugasnya, dr. Ahmad Ramli sering mengulas tentang epidemi yang sudah diulas dalam Al-Quran. Tentu saja ulasannya itu disampaikan kepada umat Islam di tanah Hindia Belanda yang pada awal abad ke-20 sering dilanda berbagai wabah penyakit.

Bagi dr. Ahmad Ramali, di satu sisi, tugasnya sebagai dokter pemerintah berkewajiban mempropagandakan hidup sehat dan bersih kepada masyarakat pribumi. Di sisi lain, ia sangat menyadari bahwa seorang Muslim perlu menyampaikan dasar-dasar hidup sehat dan bersih itu sangat terkait dengan hukum Islam.

Pada masa awal tugasnya, sekitar tahun 1929, wilayah Hindia Belanda sedang ditimpa berbagai wabah penyakit. Maka beberapa tulisan dr. Ahmad Ramali dapat dipahami sebagai cara untuk menyampaikan pemikirannya sebagai seorang Muslim yang tidak melepaskan dari pengetahuannya tentang ajaran Islam dan sebagai seorang dokter yang melakukan penelitian tentang seputar kesehatan, wabah, dan korelasinya dengan perilaku seorang Muslim ketika mensikapi bencana wabah. Seperti perlunya isolasi, hidup bersih, bersikap tenang, dan patuh aturan, serta tawakal.

Suasana Batavia Tahun 1929. Warga mencuci dan membersihkan diri di sungaj Ciliwung . Kesehatan dan kebersihan memang jadi soal serius di Hindia Belanda

Keterangan foto: Suasana warga Batavia yang mencuci, mandi, buang hajat, serta minum memakai air kali Ciliwung. Maka berbagai macam penyakit kolera sering menimpa mereka.

                                    ******

Musnahnya Bani Tsamud: Ulasan dr. Ahmad Ramali tentang Cara Riset atas Epidemi

Disertasi dr. Ahmad Ramali mengulas perilaku Bani Israil yang ingkar terhadap kenabian Nabi Salih as yang disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pada QS:7/73-79, QS:11/61-68, QS: 14/9, QS: 15/80-84, QS: 25/38, dst. 

Ayat-ayat tentang kisah kaum Tsamud menjadi catatan bagi dr. Ahmad Ramali bahwa adanya epidemi yang akut dan amat hebat yang datang tiba-tiba di daerah antara Syam dan Hijaz yang kemudian memusnahkan Bani Tsamud. Menurutnya, kisah itu memembuat para peneliti mengembangkan penelitan tentang hubungan penyakit menular dengan unta betina.

Ketika kaum Tsamud yang membunuh unta betina dengan cara yang tragis, membuat Nabi Salih as berucap “engkau telah merusak yang telah disucikan Allah. Ketahuilah bahwa siksaNya akan diturunkan atas kamu. Hari Kamis mukamu akan jadi kuning, hari Jumat merah, dan hari Sabtu hitam”.

Perkataan Nabi Salih as itu membuat kemarahan yang tiada tara di kalangan sembilan orang tokoh kaum Tsamud, sehingga hendak membunuh Nabi Saih as. Namun sebelum berhasil membunuh Nabi Salih as,  kesembilan orang itu tertimpa reruntuhan batu tatkala mereka memanjat gunung, hingga meninggal.

Peristiwa itu kemudian membuat kemaraham kembali di kalangan kaum Tsamud lainnya, dan mereka bertekad untuk membalas dendam dan membunuh Nabi Salih as. Tekad kaum Tsamud untuk membunuh Nabi Salih as. terus membara.

Sebelum niatnya terlaksana mereka merasakan perubahan wana kulit di wajahnya yakni menjadi kuning seperti dilumuri kunyit. Penyakit ini diderita semua kaum Tsamud mulai usia anak hingga dewasa. Demikian di hari kedua, mereka mengalami perubahan warna kulit di wajahnya kembali, yakni memerah seperti dilumuri darah.

Di antara mereka saling berteriak untuk meminta pertolongan. Namun menginjak hari ketiga, muka mereka kemudian menghitam dan tiada satu pun yang dapat menolong mereka. Kaum Tsamud kemudian menyadari bahwa janji Nabi Salih as tentang siksaan Tuhan telah dekat. Kaum Tsamud terus meminta bantuan Nabi Salih as. Namun Nabi Salih as. pergi meninggalkan tempat itu menuju Syam dan Palestina bersama pengikutnya.

Kisah penyakit yang diderita kaum Tsamud, khususnya tentang perubahan warna kulit itu, memicu penelitian para dokter. Penyakit yang dimaksud dalam kisah kaum Tsamud dalam Al-Qur’an itu cenderung terdapat kemiripan dengan jenis penyakit typus exanthemacus (tifus bercak), sampar atau pes, dan antrax-septichaemia. Penularan jenis penyakit sampar atau pes saat itu melalui unta yang yang membawa bakteri pestis haemorrhagica.

Kasus seperti itu  pernah terjadi di Samara Kamy, yaitu sebelah barat daerah Samara di Ruslan dan sebelah timur Wolga. Pada saat itu masyarakat di daerah ini memakan daging binatang yang mengandung bakteri pestis. Setelah melalui pembuktian riset para peneliti saat itu, terbukti bahwa daging yang dikonsumsi masyarakat Samara mengandung bakteri pestis.

Mereka yang telah mengkonsumsi daging itu, kemudian menderita sakit demam panas tinggi, kulit wajah menguning, dan lama kelamaan hilang cahaya mukanya dan berwarna merah seperti terbakar, hingga kemudian menghitam dan meninggal.  Adapun penyakit antrax adalah menimpa manusia yang memakan daging hewan yang terkena penyakit antrax.

Hal seperti ini pun yang pernah terjadi di Mesir abad ke-7 M. Berdasarkan penelitian itu, kemudian penyakit tifus, pes, dan antrax dipandang sebagai epidemi. Dalam catatan dr. Ahmad Ramali kemudian dijelaskan, tentang bagaimana langkah penelitian itu terus dikembangkan setelah memahami kasus epidemi yang dikorelasikan dengan ayat-ayat Al-Quran itu.

Beberapa cara penanganan epidemi dipahami  melalui informasi riset para ulama terdahulu dan ayat-ayat Al-Quran serta hadits Nabi.

Dokter Ahmad Ramali melakukan hal ini untuk membekali diri ketika dia bertugas sebagai penyuluh kesehatan di wilayah Hindia Belanda yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Penguatan pemahaman keagamaan juga bermaksud untuk memudahkannya menyampaikan ajaran agama Islam dengan baik kepada masyarakat pribumi.

Kejadian mengigau ketika panas demam yang tinggi, halusinasi, menjerit dan meraung saat terjadi perubahan kulit pada penderita sampar merupakan realita berdasarkan analisa medis, yang harus disampaikan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat mengetahui bahwa penyakit tersebut bukan karena kemasukan roh atau jin seperti yang dialaminya saat itu.

Menurut dr. Ahmad Ramali, bekal pemahaman keagamaan seperti itu, dipandang jitu untuk mengubah cara pandang umat Islam saat itu. Paling tidak, mereka mau menerima upaya penanganan wabah penyakit yang dikenalkan oleh dokter pemerintah, seperti dirinya.

                         

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement