Sabtu 25 Apr 2020 05:10 WIB

Perjalanan Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya di Minahasa.

Perjalanan Tuanku Imam Bonjol. Foto: Pengunjung berziarah ke kompleks makam Tuanku Imam Bonjol di Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara, Senin (11/11/2019).
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Perjalanan Tuanku Imam Bonjol. Foto: Pengunjung berziarah ke kompleks makam Tuanku Imam Bonjol di Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara, Senin (11/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG --  Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin, sekaligus pejuang yang tercatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Ia memiliki peran penting dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803 hingga 1838.

Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada 1772. Ia merupakan anak dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang anak alim ulama, Imam Bonjol tentu dididik dan dibesarkan dengan napas Islami.

Baca Juga

Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Sebelum berperang melawan pasukan Hindia-Belanda, Imam Bonjol terlebih berseteru dengan kaum adat.

Ketika itu, kaum Padri yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol hendak membersihkan dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan Pagaruyung menghendaki Islam yang sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah dan berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW.

Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak. Hingga akhirnya, kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar.

Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia-Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia-Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia-Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung.

Kendati disokong oleh kekuatan dan pasukan kolonial, dalam peperangan, kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam Bonjol untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.

Namun, pemerintah Hindia-Belanda memang tidak sungguh-sungguh memiliki iktikad baik dan ingin berdamai dengan kaum Padri. Hindia-Belanda melanggar kesepakatan damai yang telah mereka buat dengan kaum Padri dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Pada 1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsenus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan agama.

Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin menyulitkan pasukan Hindia-Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri. Hindia-Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.

Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia-Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia-Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.

Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol menghembuskan napas terakhirnya pada 8 November 1864.

Sosok Imam Bonjol memang sangat patut menjadi seorang pemimpin yang dimuliakan. Ia tidak hanya berjuang memurnikan ajaran dan nilai-nilai Islam, tapi ia pun rela mempertaruhkan hidupnya untuk melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement