REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW di sepanjang hayatnya selalu menginginkan agar umat Islam dapat meraih predikat takwa. Dan, bulan suci Ramadhan adalah kesempatan besar bagi kaum Muslimin untuk memperbaiki ketakwaan mereka.
Hal ini sudah ditegaskan sebagai tujuan puasa Ramadhan. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 183, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Janganlah nilai puasa kita tidak memperoleh apa-apa kecuali sekadar lapar dan haus. Maka dari itu, selama bulan Ramadhan kita diminta untuk lebih meningkatkan pengendalian diri, berusaha untuk memerangi sifat-sifat yang tidak terpuji.
Pengendalian diri itu diperlukan agar jangan terjadi setelah kita berpuasa dan menahan diri dari fajar hingga matahari terbenam, malamnya kita hanyut dalam berpuas diri dalam kesenangan tanpa kendali.
Kalau itu yang terjadi, berarti puasa kita bukan untuk membersihkan diri dan mempertinggi derajat kemanusiaan kita. Puasa semacam itu tidak memberi manfaat dan faedah bagi rohani kita.
Menurut sejumlah ulama, puasa yang demikian itu bagaikan orang yang tidak mencuri hanya karena adanya undang-undang yang melarangnya. Ia enggan mencuri bukan karena kesadarannya sudah cukup tinggi.
Karenanya, sangat disayangkan jika banyak orang berpuasa, tapi tidak segan-segan melakukan perbuatan tercela. Untuk itu, dalam menjalankan ibadah puasa ini kita diminta untuk berupaya menggapai tingkat takwa.
Ketakwaan dapat berarti banyak hal. Bagi orang berpunya, misalnya, itu berarti kewajiban untuk mengeluarkan zakat, infak, dan sedakah. Apalagi, kewajiban ini terikat dengan persaudaraan dan solidaritas kita terhadap fakir miskin.
Dengan semangat yang demikian itulah, Nabi SAW berhasil mengonsolidasikan kekuatan Muslimin yang memiliki moral dan kepedulian sosial karena mereka berhasil mencapai nilai takwa.