REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, sempat ditangkap pihak kepolisian karena diduga mengirimkan pesan bernada hasutan lewat aplikasi Whatsapp. Pakar hukum, Yusril Ihza Mahendra, menilai wajar jika polisi menangkap Ravio.
Pasalnya, dalam tahap penyelidikan awal, belum diketahui bahwa handphone Ravio diretas oleh seseorang. Karena itu, ia diduga menjadi orang langsung yang mengirimkan pesan-pesan tersebut.
"Pesan berisi hasutan menyebar dan hasil analisis polisi bahwa pesan itu berasal dari HP yang terdaftar atas nama saya, saya anggap wajar saja jika polisi mencari saya," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Ahad (26/4).
Jika memang Ravio tak melakukan hal tersebut, sudah sebaiknya ia kooperatif dengan kepolisian. Pasalnya, ia dapat membuktikan bahwa ia bukan merupakan pelaku dari penyebaran pesan hasutan itu.
"Saya serahkan HP saya dan minta polisi selidiki karena saya berkeyakinan seseorang telah meretas HP saya. Unit cybercrime Mabes Poliri juga akan segera dapat mengetahui bahwa HP saya diretas atau tidak," ujar Yusril.
Jika memang HP tersebut ternyata diretas, polisi bisa mempersilakan Ravio pulang. Bagus juga jika saat itu polisi dan Ravio mengadakan konfrensi pers dan memberi tahu publik bahwa pesan yang berisi hasutan itu bukan darinya.
Dalam kasus ini, ia menilai polisi berwenang mengambil langkah preventif jika di media sosial beredar hasutan kepada publik agar melakukan kerusuhan dan penjarahan. "Misalnya, hasutan untuk melakukan makar dan kerusuhan disebar ke publik dan setelah dicek itu berasal dari HP yang terdaftar atas nama saya. Maka, langkah pertama yang harus dilakukan polisi adalah secepatnya melakukan penyelidikan," ujar Yusril.
Dalam penyelidikan, polisi berwenang untuk memanggilnya guna dimintai keterangan. Jika sudah punya bukti pendahuluan, bisa saja polisi memanggil Ravio sebagai saksi lebih dahulu untuk mendengar keterangannya.
Pemanggilan pun harus menggunakan surat. Kalau Ravio tidak datang setelah dipanggil dengan cara yang patut, polisi bisa memanggil paksa dengan dibekali surat penangkapan.
Jika Ravio menolak dipanggil, polisi wajib menunjukkan surat perintah penangkapan. Prosedur itu harus dipahami dan wajib dilaksanakan oleh polisi sebagai penegak hukum.
"Namun, prosedur di atas terkadang kalah cepat dengan waktu. Pesan berantai berisi hasutan melakukan kerusuhan, misalnya, akan dilaksanakan tiga hari lagi," ujar Yusril.
Sementara itu, kalau dibiarkan, pesan itu terus beredar dan pelakunya juga bebas berkeliaran. Jika nantinya kerusuhan terjadi, polisi tentu akan menjadi pihak yang disalahkan. "Polisi juga yang disalahkan publik, mengapa tidak bertindak cepat dan antisipatif untuk mencegah? Polisi memang dilematis," ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Dalam kasus ini, polisi juga sekaligus mengingatkan publik agar jangan terpengaruh dengan pesan yang berisi hasutan itu. Ia berpendapat penegakan hukum harus jujur dan adil. Warga negara juga harus menghormati kewenangan polisi sebagai penegak hukum. Namun, polisi juga wajib menghormati setiap warga negara meskipun polisi berdasarkan nalurinya curiga terhadap seseorang.
"Kalau hukum ditegakkan dengan cara yang benar dan warga negara juga menghormati proses penegakan hukum maka insya Allah akan selamatlah negara kita di tengah krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19 ini," ujar Yusril.
Sebelumnya, Polri menegaskan bahwa penyelidikan terhadap Ravio Patra dilakukan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat yang menerima pesan Whatsapp berisi ajakan ricuh. Pesan tersebut diketahui disebar ke banyak orang di sejumlah daerah.
Polri membantah jika penangkapan terhadap Ravio merupakan tindakan mencari-cari kesalahan seseorang. "Semua langkah penyidik untuk membuat jelas berdasarkan kejadian dan saksi," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono.