Ahad 26 Apr 2020 14:08 WIB
Mudik

Mudik, Pulang Kampung: Makna Orang Minang, Madura, Betawi

Pengertian mudik bagi orang Betawai hingga para perantau Minang dan Madura.

Petugas gabungan memeriksa pengemudi di titik penyekatan larangan mudik di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dengan Kota Cimahi di Jalan Jenderal Amir Machmud, Kota Cimahi, Ahad (26/4). Penyekatan oleh petugas gabungan dari TNI, Polri, Dishub, Satpol PP, PMI dan Linmas tersebut dilakukan sebagai salah satu langkah penertiban larangan penggunaan  transportasi umum, kendaraan pribadi dan sepeda motor untuk mudik
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas gabungan memeriksa pengemudi di titik penyekatan larangan mudik di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dengan Kota Cimahi di Jalan Jenderal Amir Machmud, Kota Cimahi, Ahad (26/4). Penyekatan oleh petugas gabungan dari TNI, Polri, Dishub, Satpol PP, PMI dan Linmas tersebut dilakukan sebagai salah satu langkah penertiban larangan penggunaan transportasi umum, kendaraan pribadi dan sepeda motor untuk mudik

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Tak terbayangkan apa ekpresi 'Uda' DR Surya Suryadi yang kini mengajar di Universitas Leiden, Belanda, dalam beberapa hari ke depan tak boleh pulang kampung atau mudik ke ranah leluhurnya di Minangkabau, Saya yakin beliau pasti akan kebingungan atau paling tidak was-was.

Lucunya, dari soal itu semua kok jadi ingat ada meme yang tersebar di media sosial bila bagi ‘urang awak’ tak ada budaya mudik atau pulang kampung, yang ada budaya ‘pulang basamo’. Jadi saya yakin ‘Uda’ DR Surya Suryadi akan mesem-mesem saja menanggapi.

Hal yang sama juga terjadi pada guru sufi dan sastrawan besar Indonesia, Prof DR Abdul Hadi WM. Dipastikan beliau tak bisa melakukan pulang mudik ke Sumenep Madura pada hari raya sekarang. Ini karena rumahnya di Bekasi dan kalau pulang ke kampungnya di Madura hanya sementara, tidak untuk selama. Alhasil, nanti mobil yang membawa ketika melintas di perbatasan Jakarta akan disuruh putar balik. Prof Abdul Hadi akan terkena aturan hanya melakukan bisa melakukan pulang kampung, tak boleh mudik …?

Dari simulasi sikap dua tokoh cendikia itu, ternyata yang boleh mudik dan pulang kampung ternyata hanya pengamat sosial keagamaan, abangda Fachry Ali. Mengapa? Fachry adalah anak Betawi  kalau pun  mudik pergerakannya pun masih sebatas pada area kawasan di salah satu dari lima penjuru tanah Betawi. Di lebaran nanti  paling 'banter' dia hanya bergerak rumahnya yang berada di bilangan Jakarta Timur bergerak ke kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan menuju kampung keluarganya.

Dengan begitu bagi orang Betawi asli, abangda Fachry sebenarnya anak Betawi yang tengah 'merantau' dari sekitar sekitar Pasar Minggu dan Jagakarsa ke bilangan kampung yang ada di sekitar Kali Malang, yakni Duren Sawit.Ingat dahulu para orang tua Betawi menyebut mudik dan merantau dengan jarak yang tak terlalu jauh, misalnya mudik dari Kebon Jeruk ke Condet atau merantau dari  Palmerah ke Cililitan.

Imbasnya, ketika membahas pengertian ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’  dalam pengertian orang Betawi itu menjadi lebih rumit, unik, dan beda esensi frasanya dengan pengertian masa kini. Di masyarakat Betawi ‘mudik’ (menunjuk arah utara/udik/hulu) itu lawan kata dari ‘milir’ (menujuk arah selatan, hilir, tempat kerja), dan pengertianya tidak sama dengan keyakinan budaya para urban kota Jakarta masa kini yang punya kata ‘pulang kampung’ dan ‘balik dari kampung’,

Celakanya, nasib yang paling pedih terjadi pada sosok abangda jurnalis senior asal Aceh, Fahmi Mada. Mengapa? hal itu karena selama ini mengaku sebagai orang Jakarta tapi ternyata bukan orang Betawi. Akibatnya dia di ibu kota bukan warga Betawi yang punya Jakarta, dan dianggap tidak lagi tulen sebagai orang Aceh ketika pulang kampung. Jadi statusnya jelas dipertanyakan alias mengambang?

Straatbeeld Batavia, tram bij halte, 1939.

  • Keterangan Foto: Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1939. Kala itu bisa disebut 'kampoeng besar'.

                              *******

Adanya kisruh dalam pengertian makna berbahasa tersebut meningatkan akan munculnya tragedi runtuhnya Menara Babel ((Bahasa Ibrani: מגדל בבל Migdal Bavel, Bahasa Arab: برج بابل‎ Burj Babil). Bangunan ini adalah disebut sebagai menara tertinggi pertama di bumi yang pernah dibangun di zaman Babylonia.

Mengutip laman Wikipedia, menara Babylonia ini berdiri setelah zaman Nabi Nuh pascabanjir bandang. Penduduk pada zaman itu dianugerahi dengan kekuatan-kekuatan fisik yang lebih dan keperawakan yang gagah dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Menara inilah yang dikenal hingga saat ini sebagai simbol keangkuhan dan kesombongan manusia.

Dalam mitologi kuno itu menyebutkan bahwa dahulunya manusia hanya memiliki satu rumpun bahasa dan kemudian para manusia bepergian ke arah timur dan mendirikan sebuah menara yang sangat tinggi menjulang ke langit di sebuah tempat yang bernama Shinar. Ada banyak kisah yang menuturkan mengenai menara ini. Diantaranya bersumber dari Kitab Taurat (Yahudi), Alkitab (Kristen), dan Alquran (Islam).

Akibat merasa  'gape' mendirikan bangunan tinggi yang bisa menggapai awan, manusia kala itu merasa sombong dan tinggi hati. Maka Tuhan semesta alam pun marah. Konon Tuhan kemudian meruntuhkan menara yang sudah tinggi menjulang tapi masih dibangun ini dengan cara unik: memberikan perbedaan berbahasa kepada para tukangnya.

Maka pembangunan menara yang dahulu ‘lancar jaya’ menjadi kisruh. Para tukangnya saling bertengkar dan berkelahi karena beda bahasa. Misalnya, ada tukang minta air di kasih pasir karena pasir dianggap air, atau minta cetok di kasih alat makan karena alat makan dalam bahasanya disebut cetok.

Alhasil keributan besar terjadi di proyek Menara Bibel. Pembangunanya terlantar dan bahkan bagi para tukang kemudian bersepakat diruntuhkan saja karena mereka sudah tak merasa memiliki lagi menara itu hanya disebagkan perbedaan cara berbahasa. Kemudian menara yang sudah tinggi menjulang itu dibiarkan amburk ke tanah, tak tersisa,

Jejak Sindrom Menara Babel | Republika Online

  • Keterangan foto: Ilustrasi Menara Bibel (foto: google.com)

                        

                                     ******

Nah, belajar dari runtuhnya menara Bibel di zaman kiwari karena beda dalam berbahasa, dalam sejarah negara kita pun begitu. Sebelum kita merdeka kita tak bisa bersatu dan salah satunya karena faktor bahasa yang berbeda.

Namun, para ‘bapak bangsa kita’ cerdas, maka kemudian membuat sebuah alat  persatuan yang mencerminkan rasa senasib dan sepenanggungan. Alat yang sangat ampuh dan melebihi kekuatan senjata itu adalah persatuan dalam bahasa. Ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum kita merdeka, yakni pada 28 Oktober 1928.

Dari persitiwa itu menjadi sangat yakni: Bila dahulu tak ada bahasa yang sama (bahasa persatuan) maka kita tak akan merdeka pada tahun 1945. Di sini ada pelajaran, tanpa persatuan bahasa tak ada merdeka!

Lagi pula, petatah-petitih Melayu lama pun sudah mengatakan: bahasa menunjukan bangsa. Dengan kata lain, tanpa punya satu bahasa yang disepakati bersama sebuah wilayah hanyalah akan sekedar perkumpulan atau gerombolan orang belaka.

Dan, bahasa --sama dengan irigasi -- juga menunjukan jejak eksitensi dari sebuah kekuasan yang teratur. Maka jangan sepelekan dan membuat main-main adanya perbedaan tafsir sebuah kata, misalnya yang kini tren antara kata 'mudik dan pulang kampung'.

Dari kata mudik dan pulang kampung pun di sana sesungguhnya ada peran kekuasaan yang tengah berusaha eksis. Dari  dua kata itu jelas ada latar belakang sosial baik yang sifatnya pejoratif atau superlatif. Mudik terasa ada rasa pejoratif di banding pulang kampung. Padahal di Jawa masa kini boleh dikatakan sudah tak ada ‘udik’ atau kampung lagi. Semua kampung dan udik di Jawa sudah berubah jadi kota karena jalan aspal dan listrik sudah sampai ke area puncak gunung.

Jadi jangan angggap enteng soal bahasa, sebab itu bermakna. Misalnya jangan sederhana enteng soal lagunya Didi Kempot, sebab dalam bahasa yang dipakai dalam lagunya itu banyak memberikan isyarat tanda akan sesuatu hal. Ingat kini sudah ada yang bertanya mengapa lagu berbahasa Jawa-nya Didi Kempot di 'glorikan'? Lalu bagaimana dengan bahasa etnis Indonesia yang lain, mengapa tak diglorikan?

Mungkin saja jawabnya, “Itu bukan hal di sengaja atau hanya hiburan”. Tapi alam bawah sadar bisa menyatakan lain,  semua itu bisa merupakan tanda ada hal yang sangat serius dalam sisi kebahasaan dan eksistensi bangsa kita tercinta ini....

Bukan begitu ya Prof Abdul Hadi WM yang perantau Madura di Bekasi, Pak  Doktor Surya Suryadi selaku ‘urang awak; di Leiden, dan abangda Fachry Ali yang anak Betawi?

Ada apa sih dengan bahasa dan kekuasan kita?

Apalagi setelah lihat pengertian 'pulang kampung' yang di katakan Presiden Amerika Serikat dahulu, Barack Obama. Katanya,''Pulang kampung nih?" Eh bukannya dia bermaksud mudik karena hanya tinggal sementara alias tak menetap di Jakarta.

Eh entahlah...?

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement