REPUBLIKA.CO.ID, Tak seperti Barat yang cenderung menggunakan budak sebagai mesin ekonomi, budak dalam masa perkembangan Islam pada zaman Rasulullah tidak berperan banyak dalam sistem ekonomi.
William Gervase Clarence-Smith dalam makalahnya “Islam and Slavery” menulis budak pada zaman Rasulullah tak hanya berasal dari Afrika, tapi juga wilayah Mediterania dan Asia Tengah.
Budak-budak perempuan dijadikan selir yang justru memberi mereka status sosial lebih baik. Ada budak yang bahkan dipekerjakan sebagai pekerja sosial dan tenaga militer untuk menebus kebebasannya.
Di bagian “Slavery” dalam Dynamics of Islamic Jihad, Muhammad Sharif Chaudhry menulis, semasa Rasulullah pun ada semacam perlombaan membebaskan budak di mana para sahabat berupaya membebaskan atau ikut serta dalam pembebasan para budak.
Diperkirakan, Abu Bakar telah membebaskan 100 budak, Aisyah memerdekakan 67 budak, dan Abbas melepaskan 70 budak. Dalam 78 kali ekspansi pada masa kepempimpinan Rasulullah pun, mayoritas tahanan perang dibebaskan.
Dalam artikelnya, “Prophet Muhammad's Attitude Towards Slavery from the Perspective of Human Rights”, Elif Eryarsoy Aydin mengatakan, kesadaran untuk meninggikan hak hidup sebagai orang merdeka juga Rasulullah tumbuhkan dengan mengajak para sahabat bersama-sama menolong mereka yang menyatakan ingin masuk Islam, tapi terhambat karena berstatus budak. Rasulullah melakukan itu pada Salman al-Farisi.
Salman al-Farisi yang berasal dari Persia mengungkapkan keinginannya masuk Islam, namun ia terhambat statusnya sebagai budak Yahudi. Tuan Yahudinya mengajukan syarat pembebasan berupa sejumlah tanaman kurma dan uang. Rasulullah mengajak para sahabat mengumpulkan tanaman kurma dan harta guna menebus kebebasan Salman sebagai budak Yahudi.
Bilal dan Wahsyi jadi contoh budak Afrika yang dijadikan pelayan bangsawan Arab kala itu. Bilal dibebaskan Abu Bakar dengan tebusan saat disiksa majikannya karena memeluk Islam. Sementara, Wahsyi menebus kemerdekaannya dengan memeluk Islam pascapenaklukan Makkah.
Budak juga masuk dalam salah satu kelompok penerima zakat (mustahik) untuk membantu menebus kemerdekaannya. Pembebasan budak juga menjadi salah satu opsi hukuman bagi pelanggaran aturan agama, seperti membatalkan puasa Ramadhan secara sengaja.
Pada era modern, Willian G Clarence-Smith dalam bukunya, Islam and the Abolition of Slavery, menjabarkan, pada 1964, dalam Kongres Muslim Dunia ke-6, Organisasi Konferensi Islam (OKI) mendeklarasikan Gerakan Anti Perbudakan dalam segala bentuk.
Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia di Kairo, bersama UNESCO, OKI menerbitkan prosiding yang menolak perbudakan para tahanan dan manusia bebas sekitar 1980-an. Deklarasi ini kemudian diterapkan di 54 negara yang menjadi anggota OKI.
Mesir sendiri baru mengungumkan perlawanan terhadap perbudakan secara resmi para 1990. Aksi ini sebernarnya sudah didahului berbagai negara Timur Tengah lain, seperti Qatar pada 1952, Yaman dan Arab Saudi pada 1962, dan Mauritania pada 1980.