REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Mimi Kartika
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sepakat untuk memprioritaskan persidangan atas uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Sidang pendahuluan dijadwalkan digelar besok secara tatap muka.
Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh, menyebutkan, permohonan pengujian Perppu 1/2020 akan diprioritaskan mengingat masa berlaku Perppu yang terbatas.
"Mengingat masa berlaku Perppu terbatas, maka wajar apabila permohonan terkait pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2020 akan diprioritaskan," ujar Daniel dikutip dari laman resmi MK, Senin (27/4).
Menurut Daniel, MK dapat melakukan pengujian terhadap Perppu berdasarkan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Putusan itu juga ia sebut telah memberikan hak konstitusional kepada masyarakat pencari keadilan apabila merasa hak konstitusional dirugikan dengan ditetapkannya Perppu.
Dikutip situs resmi MK, Ketua MK Anwar Usman mengatakan, sidang akan berlangsung seperti biasa sesuai ketentuan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2020. Namun, persidangan tetap memperhatikan aturan-aturan kesehatan dan lainnya di masa pandemi Covid-19 ini.
”Kita setuju untuk melakukan sidang di satu ruangan dengan mengubah tempat posisi ruang persidangan sesuai protokol kesehatan yang berlaku,” kata Anwar.
Sebelumnya, MK memang tengah menyiapkan regulasi untuk bisa menggelar sidang jarak jauh melalui video conference. MK juga sedang menyiapkan piranti dan sarana prasarana yang diperlukan supaya kaidah hukum acara tetap terpenuhi.
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, kekhususan sidang uji materi Perppu Covid-19 ini karena sifat terbitnya Perppu dalam situasi genting. Sehingga, penyelesaian pengujiannya pun harus segera dilakukan.
"Kekhususannya ya karena memang yang diuji Perppu ya bukan Undang-Undang, tentu akan ada pertimbangan, terutama terkait dengan waktu penyelesaian," kata Fajar.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengaku sudah menduga kuat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 akan ditentang. Karena itu, pemerintah sudah siap menghadapi langkah yang diambil pihak lain terhadap Perppu tersebut.
"Sejak awal kita memang sudah menduga kuat bahwa Perppu Nomor 1/2020 itu akan di-challenge, akan ditentang. Di DPR pasti akan dipersoalkan secara politik, di masyarakat pasti akan dibawa ke MK karena memang di dalam sejarahnya tidak pernah ada Perppu yang tidak ditentang," ujar Mahfud melalui video singkatnya, Rabu (22/4).
Karena itu, kata dia, jika sekarang muncul wacana penentangan atas Perppu terkait Covid-19 itu di DPR dan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka pemerintah sudah siap menghadapinya. Menurut Mahfud, pemerintah tidak kaget akan langkah-langkah tersebut.
"Kita gembira bahwa ada yang merespons dan kita sudah sejak awal sejak sebelum itu ada, kita sudah siapkan itu semua. Ndak ada masalah, jalan saja. Di DPR silakan jalan dibahas, di MK nanti kita ketemu membahasnya," jelas dia.
Tiga permohonan
Masyarakat yang hendak menyaksikan jalannya persidangan dapat mengikuti siaran langsung sidang melalui YouTube Mahkamah Konstitusi. MK telah menerima tiga permohonan uji konstitusionalitas Perppu 1/2020.
Pertama, permohonan Nomor 24/PUU-XVIII/2020 diajukan sejumlah organisasi masyarakat, yakni Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA). Kedua, permohonan diajukan sejumlah pemohon perseorangan, diantaranya Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dkk dengan Nomor 23/PUU-XVIII/2020.
Kemudian MK menerima permohonan dari Damai Hari Lubis yang langsung diregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XVIII/2020. Para pemohon menilai Pasal 27 Perppu 1/2020 berpotensi menjadikan pejabat atau penguasa seperti KKSK kebal hukum.
Sebab, Pasal 27 Perppu 1/2020 menyebut KSSK atau pun pejabat pelaksana Perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara pidana dan perdata. Selain kewenangan yang dinilai kebal hukum, Pasal 27 Perppu 1/2020 juga dinilai berpotensi memunculkan korupsi.
Hal itu karena adanya Pasal 27 ayat (1) terutama frasa “bukan merupakan kerugian negara”. Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat.
Apalagi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur keuangan negara dalam kondisi tidak normal atau darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5). Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Perppu 1/2020 tidak memenuhi tiga syarat “kegentingan memaksa” sebagai parameter perlunya Presiden menerbitkan sebuah Perppu berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.