REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution
Pandemi Covid-19 dikhawatirkan mengakibatkan Indonesia di ambang krisis pangan. Salah satunya krisis beras.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengingatkan pemerintah menyiapkan antisipasi dini kemungkinan terjadinya krisis beras pada semester kedua 2020. Khudori mengatakan, kecukupan beras nasional hingga akhir tahun sangat bergantung pada langkah penyerapan gabah yang saat ini tengah memasuki puncak panen raya.
Khudori menjelaskan, puncak musim penen rendeng 2020 mundur satu bulan dari tahun-tahun sebelumnya menjadi bulan April-Mei. Selain kemunduran itu, prediksi produksi pada panen kali ini juga menurun yakni sekitar 10,84 juta ton dari realisasi tahun lalu 13,63 juta ton.
"Dengan pola tanam yang mundur pasti akan ada gangguan hingga nanti pada musim panen gadu Juli-September. Makanya ini peringatan bagi pemerintah untuk hati-hati karena ada titik kritis saat paceklik di musim kemarau nanti," kata Khudori kepada Republika.co.id, Senin (27/4).
Khudori mengatakan, antisipasi yang bisa dilakukan dengan mengoptimalkan penyerapan gabah petani yang sedang dipanen saat ini. Sebab, panen rendeng merupakan musim panen utama karena musim tanam bersamaan dengan musim hujan.
Sementara musim tanam selanjutnya pada semester kedua bertepatan dengan musim kemarau sehingga volume produksi tidak akan sebesar pada panen yang sedang berlangsung. Khudori pun menegaskan bahwa Indonesia pada tahun ini harus benar-benar mengandalkan produksi dalam negeri.
Sebab, negara produsen beras seperti Thailand dan Vietnam tidak bisa diharapkan penuh lantaran masing-masing negara mulai mengutamakan kecukupan kebutuhan dalam negerinya. "Surplus tahun ini mungkin tidak akan sebesar tahun lalu. Atau bisa jadi defisit beras. Jadi perlu kewaspadaan," kata Khudori.
Ia sekaligus mewanti-wanti Bulog sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang ditugaskan untuk menyerap gabah saat ini. Khudori mengatakan, Bulog mesti terus melakukan penyerapan gabah dari petani sebanyak mungkin agar bisa disimpan menjadi cadangan beras pemerintah ketika krisis terjadi.
Sebelumnya, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria menuturkan ketersediaan pangan pasca wabah virus corona baru (Covid-19) harus disiapkan sejak saat ini. Tanpa persiapan matang, ketersediaan pangan nasional bisa terganggu.
Arif mengatakan, terjadi ketidakpastian pasar komoditas pangan di tengah wabah Covid-19 akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan itu memicu banyaknya penutupan warung, toko, dan berkurangnya jalur akses pangan dari daerah-daerah sentra ke perkotaan.
Situasi itu mengakibatkan terjadinya penumpukan produksi di hulu dan dapat berimbas pada anjloknya harga pangan dan kerugian petani. "Kalau masalah distribusinya tidak terpecahkan, maka harga jatuh, untung tidak ada. Lalu, bagaimana dia bisa punya modal cukup untuk musim tanam selanjutnya?" kata Arif.
Sesuai pernyataan pemerintah, kata Arif, persediaan pangan nasional dipastikan aman sampai dengan bulan Agustus 2020. Oleh karena itu, seiring berjalannya waktu, pemerintah harus segera mempersiapkan berbagai antisipasi dari kemungkinan masalah pangan yang bisa terjadi.
"Bagaimana setelah Agustus nanti? Harus ada langkah yang bisa dilakukan agar petani bisa menghadapi masalah distribusi dan produksi. Perlu ada kebijakan rantai pasok yang komprehensif," ujar Arif.
Setidaknya, penyaluran pangan dari sentra produksi yang kesulitan memasarkan hasil panennya butuh diintervensi pemerintah. Hal itu agar petani tetap bisa memperoleh pendapatan dari hasil usaha taninya sehingga memiliki modal cukup untuk kembali melakukan penanaman.
Sementara itu, Pakar Ekonomi Pertanian, Bustanul Arifin, memproyeksi titik kritis ketersediaan beras akan terjadi pada akhir tahun 2020. Hal itu perlu diantisipasi dari sekarang untuk mengoptimalkan persediaan beras saat panen raya yang masih berlangsung.
"Titik krisis beras tahun ini ada di akhir tahun. Ketersediaan beras kita sampai Juli aman walau ada kemarau. Lalu Agustus, sudah mulai defisit," kata Bustanul.
Bustanul memaparkan, produksi beras tahun 2019 hanya 31,31 juta ton atau turun 7,75 persen dari produksi tahun 2018 sebanyak 33,94 juta ton. Kekeringan ekstrem sepanjang tahun lalu menjadi faktor dominan penurunan produksi tahun 2019.
Musim kemarau panjang itu juga menyebabkan kemunduran musim tanam dan panen 2019-2020. Sementara, pola produksi dan konsumsi beras tidak berubah. Ia menambahkan, impor beras tahun 2019 pun hanya 444 ribu ton, turun signifikan dibanding impor 2018 yang tembus 2,25 juta ton. Situasi itu akan mempengaruhi kondisi 2020.
Saat ini, berbagai sentra produksi tengah melewati masa puncak panen raya. Bustanul mengatakan, dalam jangka pendek neraca beras diperkirakan surplus 0,9 juta ton pada April 2020 dan akan aman hingga bulan Juli mendatang.
Memasuki Agustus 2020 dimana musim merupakan musim kemarau, Bustanul memperkirakan akan mulai terjadi defisit beras. Dengan kata lain, produksi beras dalam negeri tidak mampu mengimbangi rata-rata konsumsi beras bulanan sekitar 2,5 juta ton.
Sementara itu, produksi beras pada musim panen gadu (musim kering) rata-rata hanya sekitar 35 persen dari total produksi nasional dalam setahun. Oleh sebab itu, musim panen rendeng yang masih berlangsung saat ini perlu dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah dan Perum Bulog dalam melakukan penyerapan gabah petani untuk diolah menjadi beras.
Bustanul pun mengingatkan, lembaga internasional seperti International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan bahwa terdapat kenaikan harga beras secara global. Rantai nilai beras juga bisa terganggu akibat wabah Covid-19 yang menyebabkan banyak pembatasa aktivitas.
"Manajemen stok beras domestik bukan opsi, tapi kewajiban. Sebab, krisis pangan dapat berdampak sosial-politik," ujarnya.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan tiga skenario perkiraan kecukupan beras nasional hingga bulan Mei 2020 mendatang. Tiga skenario prediksi kecukupan beras yang dipetakan Kementan yakni optimis, moderat, dan pesimis.
"Kita melihat seperti apa eksisting lahan pertanian yang menghasilkan beras dan bagaimana situasi proses distribusi hingga ke pasar dan menjadi konsumsi rakyat," kata Syahrul dalam konferensi pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Ahad (26/4).
Syahrul mengatakan, skenario pertama yakni optimis. Ia menjelaskan, stok beras yang tersisa pada akhir pada Februari 2020 secara nasional sebanyak 3,5 juta ton. Sedang perkiraan produksi gabah setara beras selama periode Februari-Mei 2020 dari para petani sebanyak 12,4 juta ton lebih sehingga total stok beras lebih dari 15 juta ton.
Sementara itu, konsumsi masyarakat pada periode yang sama diperkirakan sebesar 7,6 juta ton. Jika dikalkulasikan, maka hingga akhir Mei 2020 masih terdapat sisa stok yang menjadi persediaan beras nasional sekitar 8 juta ton.
"Itu kalau kita pakai pendekatan optimis," kata Syahrul.
Secara moderat, dari persediaan Februari 2020 sebanyak 3,5 juta ton, angka optimis produksi dikurangi 4 persen sehingga hanya 11 juta ton. Sementara, perkiraan kebutuhan dinaikkan menjadi 8 juta ton. Hasil neraca masih tersisa stok sekitar 7 juta ton.
Skenario terakhir yakni pemisimis. Syahrul menjelaskan, dari stok awal 3,5 juta ton, produksi diperkirakan mencapai 11 juta ton sedangkan konsumsi melonjak menjadi 8,3 juta ton.
"Skenario pesimis, masih tersedia beras sekitar 6 juta ton sampai akhir Mei 2020. Kalau begitu, selama bulan puasa dan Idul Fitri masih cukup terkendali," kata Syahrul.
Ia menegaskan, data-data tersebut sudah divalidasi langsung ke lapangan. Perkiraan panen terus dipantau melalui teknologi citra satelit dan dihitung oleh Badan Pusat Statistik. Sementara, Kementerian Pertanian melakukan pemantauan langsung ke 400 kabupaten kota yang terdapat potensi panen.
Syahrul pun berharap data-data gabah dan beras yang dipegang oleh Kementan bisa menjadi data objektif yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, ia tak menampik bahwa Kementan bertanggung jawab atas 11 kebutuhan pangan pokok dan bukan hanya beras. Selain beras yakni bawang putih, bawang merah, cabai besar, cabai rawit, daging sapi/kerbau, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng.
Ia menjamin dari neraca pangan nasional yang dimiliki pemerintah, seluruhnya dalam kondisi yang cukup dan terkendali. "Kita sudah kerja sama dengan BPS, ternyata neraca ini oke dan bisa menjadi referensi. Insya Allah, Kementan sangat yakin dengan stok pangan nasional. Kita harus yakin," katanya.