Arab Saudi mengakhiri pencambukan sebagai bentuk hukuman, demikian menurut sebuah dokumen dari pengadilan tinggi kerajaan yang dilihat oleh Reuters pada hari Jumat (25/04).
Keputusan itu merupakan perpanjangan dari reformasi hak asasi manusia yang diperkenalkan di bawah arahan Raja Salman bin Abdulaziz dan pengawasan langsung Pangeran Mahkota Mohammad Bin Salman," demikian tertulis dalam dokumen itu.
Keputusan Komisi Umum untuk Mahkamah Agung Arab Saudi tersebut, diambil pada bulan ini. Hukuman cambuk digantikan oleh hukuman penjara atau denda, atau gabungan keduanya.
Di Arab Saudi, Pencambukan selama ini diterapkan untuk menghukum berbagai bentuk hal yang dianggap pelanggaran. Tanpa sistem hukum yang dikodifikasikan agar sejalan dengan ayat-ayat yang membentuk hukum syariah, atau hukum Islam, hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan ayat-ayat agama dan menghasilkan putusan mereka sendiri.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan kasus-kasus sebelumnya di mana hakim-hakim Saudi telah menerapkan hukum cambuk atas berbagai pelanggaran, termasuk mabuk di muka umum dan pelecehan.
HRW: Langkah ini seharusnya sejak dulu
Reformasi ini adalah langkah maju yang penting dalam agenda hak asasi manusia Arab Saudi, dan hanya salah satu dari banyak reformasi baru-baru ini di Kerajaan," kata Presiden Komisi Hak Asasi Manusia (HRC) yang didukung negara, Awwad Alawwad kepada Reuters.
"Ini adalah perubahan yang bisa disambut baik tetapi seharusnya sudah dilakukan bertahun-tahun yang lalu," kata Adam Coogle, Wakil Direktur Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Human Rights Watch (HRW). "Tidak ada yang menghalangi Arab Saudi mereformasi sistem peradilannya yang tidak adil," katanya.
Hukuman fisik lain belum diubah
Bentuk-bentuk lain dari hukuman fisik, seperti potong anggota tubuh untuk pencurian atau pemenggalan kepala untuk delik pembunuhan dan pelanggaran terorisme, belum dilarang.
Cambukan yang dipecutkan terkadang mencapai ratusan cambukan. Kasus hukuman cambuk paling terkenal dalam beberapa tahun terakhir menimpa blogger Saudi Raif Badawi yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan 1.000 cambukan pada tahun 2014 atas tuduhan "menghina" Islam. Hukuman tersebut telah lama menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia.
Amnesti Internasional mencatat rekor 184 orang tewas tahun lalu akibat pemberlakuan hukuman yang keras di Arab Saudi. "Semakin meningkatnya penggunaan hukuman mati di Arab Saudi, termasuk sebagai senjata melawan pembangkang politik, adalah perkembangan yang mengkhawatirkan," kata organisasi HAM itu.
Aceh tetap terapkan hukum cambuk
Di Indonesia sendiri, Aceh merupakan provinsi yang menerapkan hukum cambuk. Aturan hukum pidana Islam atau yang dikenal dengan istilah Qanun Jinayat di Aceh menetapkan pelanggaran pidana untuk dikenakan hukum cambuk. Menanggapi penghapusan hukum cambuk di Arab Saudi, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Faisal Ali mengatakan, hukum cambuk yang diterapkan di Arab Saudi berbeda dengan yang ada di Aceh.
“Di Aceh ini kami modifikasikan sedemikian rupa sehingga waktu dicambuk tidak akan pernah melukai orang dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur, berbeda dengan apa yang dilakukan di Saudi,” jelas Faisal saat diwawancarai DW Indonesia, Senin (27/04) siang.
Ia menyampaikan bahwa hukum cambuk di Aceh diterapkan guna memberikan pembelajaran bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Faisal juga mengaku bahwa masyarakat Aceh telah menerima pemberlakuan hukum pidana Islam atau Qanun Jinayat ini.
“Jangankan masyarakat muslim, masyarakat non-muslim di Aceh selama pemberlakuan Qanun memilih ini (cambuk), ketimbang dengan hukum nasional. Kenapa? Setelah kena cambuk selesai, sudah bisa dekat lagi dengan keluarga,“ ungkap Faisal.
Faisal mengatakan sejak pemberlakuan hukum cambuk di provinsi berjuluk Serambi Mekah tersebut, angka pelaku pelanggaran asusila, aktivitas judi, dan konsumsi maupun penjualan minuman beralkohol menurun.
“Kalau dulu di mana-mana kita lihat orang mabuk di kota Banda Aceh. Ada geng-geng, orang berjudi. Tapi sekarang masih ada namun sembunyi-sembunyi tidak sebebas dulu. Banyak maslahat yang kita lihat dengan pelaksanaan hukum syariat di Aceh ini untuk masyarakat Aceh sendiri,“ pungkasnya.
Sebelumnya, kepada DW Indonesia, Ketua Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh merupakan “tontonan publik yang memalukan dan kejam.“ Ia menilai bahwa hukuman cambuk yang secara rutin dilakukan di ruang publik, dengan disaksikan oleh banyak orang yang mengambil foto dan video, dapat menambah penghinaan dan penderitaan jangka panjang bagi mereka yang menjalani hukuman.
Usman pun mengatakan bahwa pihak berwenang di Aceh harus mencabut Undang-Undang yang memberlakukan hukum cambuk ini.
Perda Syariat yang mengatur hukum pidana Islam atau Qanun Jinayat disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2014 dan mulai berlaku di seluruh Provinsi Aceh pada 23 Oktober 2015.
ap, rap/yp (Reuters, AFP, Al Arrabiya, HRW. AI)