Senin 27 Apr 2020 21:15 WIB

Boris Johnson Belum Bersedia Longgarkan Karantina Nasional

Boris Johnson mengatakan pelonggaran berisiko timbulkan wabah gelombang kedua

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
 Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyampaikan pernyataan pers di depan kediaman resminya di Downing Street, London, Senin (27/4). Boris Johnson mengatakan pelonggaran berisiko timbulkan wabah gelombang kedua.
Foto: EPA-EFE/NEIL HALL
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyampaikan pernyataan pers di depan kediaman resminya di Downing Street, London, Senin (27/4). Boris Johnson mengatakan pelonggaran berisiko timbulkan wabah gelombang kedua.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan masih terlalu berisiko untuk melonggarkan karantina nasional (lockdown)yang bertujuan memutus rantai penularan virus corona. Menurutnya hal itu dapat menyebabkan gelombang kedua yang mematikan.

Johnson membandingkan virus corona dengan penjahat jalanan yang harus rakyat Inggris tundukkan. Ia menekankan saat ini tingkat risiko masih maksimal.

Baca Juga

Johnson mengatakan ia memahami keprihatinan bisnis dan akan berbicara dengan partai oposisi. Tapi ia menegaskan hingga saat ini belum ada keputusan untuk mencabut karantina nasional.

"Kami tidak bisa menguraikan berapa cepat atau lambat atau bahkan kapan perubahan akan dibuat, walaupun yang jelas dalam beberapa hari ke depan pemerintah akan mengatakan lebih banyak lagi," kata Johnson, Senin (27/4).

Johnson baru saja pulih dari Covid-19 yang hampir membahayakan nyawanya. Berbicara di depan kediaman resmi perdana menteri di Downing Street, Johnson tampak lebih sehat.

"Jika kami bisa menunjukkan semangat yang sama atas persatuan dan kegigihan seperti yang telah kami tunjukan dalam enam pekan terakhir ketika saya tidak memiliki keraguan, sama sekali kami akan mengalahkannya," kata Johnson. 

Pemerintahan, partai, dan penasihat saintifik Johnson terpecah tentang bagaimana dan kapan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia itu mulai mengizinkan aktivitas ekonomi dibuka kembali. Mereka bahkan tidak sepakat tentang bentuk batasan yang perlu diterapkan. 

"Kami harus mengakui risiko gelombang kedua, risiko kehilangan kendali atas virus itu, dan membiarkan angka reproduksi kembali satu lagi karena itu artinya tidak hanya gelombang kematian dan penyakit baru tapi juga bencana ekonomi," katanya. 

Inggris menjadi salah satu negara yang paling terdampak virus corona. Sejauh ini sudah 20.732 pasien Covid-19 di Inggris yang meninggal dunia di rumah sakit.

"Saya meminta tahan ketidaksabaran Anda karena saya yakin sekarang kami menuju akhir tahap pertama dalam konflik ini dan terlepas dari semua penderitaan kami hampir berhasil," tambah Johnson.

Penerapan karantina nasional pada masa damai paling ketat sepanjang sejarah Inggris mengancam resesi ekonomi terburuk dalam tiga abad terakhir di Inggris. Mereka juga mungkin akan memiliki utang terbesar sejak Perang Dunia II.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement