REPUBLIKA.CO.ID, Sunah sering didefenisikan sebagai sesuatu yang berpahala melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Secara harfiah, tidak ada yang salah dari defenisi ini, walau sebenarnya tidak mendiskripsikan secara keseluruhan apa itu sunah.
Definisi tersebut hanya cocok untuk menjawab seputar hukum saja. Sebagaimana empat "teman-temannya" yang lain, yakni wajib (berpahala mengerjakan, berdosa jika meninggalkan), mubah (tidak berpahala mengerjakan, tidak berdosa jika meninggalkan), makruh (berpahala meninggalkan, tidak berdosa jika mengerjakan), dan haram (berpahala meninggalkan dan berdosa jika mengerjakan).
Namun, jika definisi ini dipergunakan untuk menjawab permasalahan di luar konteks hukum menjadi tidak cocok. Misalkan saja, untuk menyeru dan memotivasi orang lain menghidupkan sunah. Tentu tidak akan ada yang tertarik dengan definisi seperti ini. Tidak ada sebuah sanksi hukum bagi para pengabai sunah.
Yang terjadi, justru akan semakin banyak orang yang mengabaikan, bahkan melecehkan sunah karena mengacu pada defenisi sunah dalam tinjauan fikih semata. Mereka berpikir, tidak perlu repot-repot mengerjakan sesuatu yang hanya dipandang sunah karena tidak ada konsekuensi apa pun jika tidak dilaksanakan.
Sunah dalam definisi yang lebih universal dan lengkap dapat diartikan dengan keseluruhan pola, tata cara, dan gaya hidup Rasulullah SAW. Setiap Muslim harus mengikuti seluruh gaya hidup Rasul mereka, sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah. Seperti firman Allah SWT, "Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku. Niscaya, kamu akan dicintai Allah dan diampuni dosa-dosamu." (QS Ali Imran [3]: 31).
Menjalankan sunah diartikan sebagai bukti kecintaan kepada Allah. Lantas, bagaimanakah posisi orang yang meremehkan sunah lalu enggan melakukannya? Bukankah artinya mereka itu tidak cinta kepada Allah? Lalu, masihkah bisa digolongkan kepada orang-orang beriman, mereka yang tidak cinta kepada Allah?
Taat kepada Rasul dengan menjalankan seluruh sunahnya adalah bukti ketaatan kepada Allah. Artinya, bukti kepatuhan seorang Muslim kepada Allah adalah dengan patuh menjalankan sunah-sunah Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, "Siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah," (QS an-Nisa'[4]:80).
Mereka yang setia memelihara sunah-sunah Rasul itulah yang sebenar-benarnya orang beriman. Merekalah itulah golongan Rasulullah yang bersama-sama akan memasuki surga. Sebagaimana firman Allah, "Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah yang akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baiknya teman." (QS an-Nisa'[4]:69).
Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk mengabaikan sunah nabi. Meremehkan dan meninggalkan sunah bisa menjadi ancaman tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya. Menyadari sebuah sunah, tapi enggan melakukannya bisa juga terancam tidak termasuk kepada golongan Rasulullah dan orang saleh. Kendati didefinisikan tidak berdosa jika ditinggalkan, apa spesialnya ibadah seseorang jika hanya melakukan yang wajib saja.
Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, "Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada Ku dengan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku akan menjadi penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, Aku akan menjadi langkah kakinya yang dengannya ia beraktivitas. Apabila ia berdoa pasti Ku kabulkan. Apabila ia memohon pertolongan pasti Ku tolong.” (HR Bukhari).
Begitulah seorang Muslim mendapatkan kecintaan Allah dengan cara menghidupkan amalan-amalan sunah. Kecintaan Allah tidak akan datang begitu saja tanpa ada usaha dari hamba-Nya. Jika ingin dicintai Allah, tentu harus ada upaya dan perjuangan yang ditampakkan. Bagaimana mungkin seseorang bisa dikatakan cinta Allah dan masuk ke dalam golongan Rasul-Nya jika ia tidak peduli dengan sunah-sunah Rasul-Nya.