Selasa 28 Apr 2020 18:55 WIB

Militer Libya Serang Pangkalan Udara Haftar

Pemerintah Libya yang diakui PBB menyerang pangkalan udara Al-Watiya

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Kendaraan militer Libya hancur akibat bom bunuh diri di Benghazi. Pemerintah Libya yang diakui PBB menyerang pangkalan udara Al-Watiya. Ilustrasi.
Foto: Reuters/Esam Omran Al-Fetori
Kendaraan militer Libya hancur akibat bom bunuh diri di Benghazi. Pemerintah Libya yang diakui PBB menyerang pangkalan udara Al-Watiya. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui PBB mengatakan pasukannya melakukan serangan udara di pangkalan udara Al-Watiya pada Selasa (28/4) waktu setempat. Pangkalan udara itu dikendalikan oleh milisi pimpinan komandan Khalifa Haftar.

Juru bicara militer GNA Mohammed Kanunu mengeluarkan pernyataan tentang perkembangan di pangkalan udara di Libya barat. Dia mengatakan pasukan GNA melakukan lima serangan udara yang menargetkan tentara dan kendaraan militer pro-Haftar di pangkalan tersebut.

Baca Juga

"Serangan udara dilakukan sebagai tanggapan terhadap serangan oleh milisi Haftar pad warga sipil di Tripoli," ujar Kanunu dikutip Anadolu Agency, Selasa (28/4).

Al-Watiya dianggap sebagai salah satu pangkalan udara paling penting di negara ini dan yang kedua setelah Bandara Mitiga. Pada Agustus 2014, wilayah itu dikuasai oleh Haftar, pemimpin pasukan bersenjata ilegal di Libya timur yang menggunakannya sebagai markasnya untuk operasi barat.

Sebelum serangan Selasa (28/4), milisi Haftar meluncurkan lebih dari 65 roket ke penduduk sipil di Msallata, sebuah kota 130 kilometer timur Tripoli. Hal itu dibenarkan oleh pernyataan tertulis oleh pusat pers Operasi Volcano of Rage yang dipimpin GNA. "Serangan itu menyebabkan korban sipil dan kerusakan materi serius di kota itu," jelas pernyataan itu.

Pada Senin, Haftar secara sepihak menyatakan dirinya sebagai penguasa Libya. Dalam sebuah pesan video, Haftar menunjuk demonstrasi jalanan di daerah-daerah di bawah kendalinya dan mengklaim bahwa ia menerima mandat rakyat Libya untuk memerintah negara itu.

Dia mengatakan perjanjian 2015, yang ditandatangani oleh pihak yang bertikai di Libya di bawah naungan PBB, tidak lagi berlaku dan telah kehilangan kekuasaannya. Di bawah kesepakatan itu, GNA dibentuk untuk mengelola proses transisi di Libya. Namun, Haftar dan sekutu politiknya berusaha mencegah perjanjian ini mulai berlaku dengan inisiatifnya di lapangan.

GNA telah diserang oleh pasukan Haftar sejak April lalu, dengan lebih dari 1.000 tewas dalam kekerasan. Hal ini meluncurkan Operation Peace Strom pada 26 Maret untuk melawan serangan di ibu kota.

Sejak penggulingan penguasa lama Muammar Gaddafi pada 2011, dua kursi kekuasaan telah muncul di Libya. Haftar di Libya timur yang didukung oleh Mesir dan Uni Emirat Arab dan GNA di Tripoli yang mendapatkan pengakuan PBB dan internasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement