REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia menyatakan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS beberapa terakhir ini disebabkan faktor teknikal dari dalam negeri dan luar negeri. Tercatat, nilai tukar rupiah ditutup Rp 15.380 atau melemah 70 poin pada penutupan perdagangan kemarin, Selasa (28/4).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan faktor dalam negeri memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah berasal dari kebutuhan valutas asing dari korporasi yang relatif tinggi.
“Misalnya dari dalam negeri kebutuhan valuta asing untuk korporasi itu lebih tinggi dan ini memengaruhi permintaan valas," ujarnya saat video conference di Jakarta, Rabu (29/4).
Menurutnya sentimen dalam negeri juga disebabkan oleh adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga pelaku pasar melihat kondisi ini memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Kemudian prediksi Fitch terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 2,8 persen yang lebih rendah dari tahun sebelumnya juga memengaruhi nilai tukar rupiah.
"Tapi ada juga faktor positif baik dalam dan luar negeri seperti penawaran lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih tinggi menjadi Rp 44,4 triliun. Hal itu menunjukkan minat investor dalam dan luar negeri untuk membeli SBN ini 2,2 kali dari target,” jelasnya.
Sedangkan sentimen luar negeri didorong penguatan pasar future saham di Amerika Serikat dan Eropa. Ke depan, nilai tukar rupiah diprediksi akan stabil dan menguat ke arah Rp 15.000 per dolar AS.
“Insya Allah nilai tukar rupiah stabil dan menguat,” ucapnya.
Keyakinan Bank Indonesia turut ditopang dari faktor sisi fundamental rupiah yang masih undervalue dan defisit transaksi berjalan yang lebih rendah 2,5 persen sampai tiga persen.
"Insya Allah pada kuartal I 2020 di bawah 1,5 persen PDB. Untuk keseluruhan tahun di bawah 2 persen jika defisit transaksi berjalannya lebih rendah berarti kekurangan devisa itu lebih rendah dan mendukung penguatan nilai tukar ke arah fundamentalnya," ucapnya.