REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebuah studi menunjukkan setidaknya 50,8 juta orang kini menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Mereka terpaksa mengungsi sebagai akibat dari konflik, kekerasan, dan bencana.
Menurut laporan tahunan terbaru dari Pusat Pemantauan Pengungsian Internal (IDMC), Selasa (28/4) waktu setempat, sebanyak 33,4 juta kasus pengungsian baru dicatat sepanjang 2019. Angka itu merupakan angka tahunan tertinggi sejak 2012. Pada 2018, tercatat satu juta orang mengungsi.
"Sekitar 8,5 juta pengungsi terjadi dalam konteks konflik dan kekerasan di negara-negara seperti Suriah, Republik Demokratik Kongo (DRC), Ethiopia, Sudan Selatan, dan Burkina Faso," kata laporan tersebut seperti dikutip Anadolu Agency, Rabu (29/4).
Menurut laporan itu, sekitar 24,9 juta pengungsian baru dipicu oleh bencana, termasuk 4,5 juta oleh Topan Fani di India dan Bangladesh, Topan Idai dan Kenneth di Mozambik dan Badai Dorian di Bahama. "Hujan lebat dan berkepanjangan mengakibatkan banjir meluas di Afrika, menghasilkan dua juta pengungsian baru," kata laporan itu.
Statistik menunjukkan secara keseluruhan bahwa 45,7 juta orang di 61 negara, seperti Suriah, Kolombia, DRC, Yaman, dan Afghanistan, terlantar di negeri sendiri karena kekerasan dan konflik. Sementara 5,1 juta orang lainnya di 95 negara hidup dalam kondisi pengungsian dalam negeri karena bencana.
Laporan tersebut juga memperingatkan negara-negara tentang pandemi Covid-19. Sehingga berharap negara-negara bisa mencapai perdamaian untuk menghentikan perpindahan di zona konflik.
"Pandemi virus corona global dapat meningkatkan jumlah orang terlantar di seluruh dunia," kata laporan itu. IDMC yang berbasis di Jenewa didirikan pada 1998 sebagai bagian dari Dewan Pengungsi Norwegia. Sejak itu, badan itu menganalisis pengungsian atau pengungsi dalam negeri di seluruh dunia.
Direktur IDMC Norwegia, Alexander Bilak mengharapkan pengungsian dalam negeri akan mendapat lebih banyak perhatian global tahun ini, setelah peluncuran panel tingkat tinggi PBB pada Oktober untuk mengatasi masalah dan menemukan solusi jangka panjang. Panel menggelar pertemuan pertama pada Februari.
Namun, Covid-19 diharapkan mengalihkan fokus pada pengungsian. "Kami sangat berharap tahun ini akan benar-benar menjadi peringatan bagi komunitas internasional, dengan panel tingkat tinggi baru tentang pengungsian dalam negeri. Kami pikir tahun ini akan menjadi tahun pengungsian dalam negeri," kata Bilak dikutip Guardian.
Dia mengatakan masih terlalu dini untuk menilai dampak penuh dari virus corona pada pengungsian dan upaya untuk mengatasinya. Namun ia khawatir tentang pendanaan di masa depan.
"Jika kita akan terjun ke dalam resesi, tentu saja itu akan berdampak pada kemurahan hati pemerintah donor. Ini akan menjadi situasi yang sangat buruk bagi semua orang," katanya.
Bilak juga khawatir terhadap keselamatan orang-orang yang terlantar. "Pengungsi (pengungsi internal) seringkali adalah orang-orang yang sangat rentan yang tinggal di kamp-kamp yang padat, tempat penampungan darurat dan permukiman informal dengan sedikit atau tanpa akses ke perawatan kesehatan," katanya.
Pandemi global Covid-19 menurutnya akan membuat mereka lebih rentan. Hal itu, kata dia, akan membahayakan kondisi hidup mereka yang sudah genting, dengan membatasi akses mereka ke layanan-layanan penting dan bantuan kemanusiaan.
Bilak mengatakan Dewan Pengungsi Norwegia dan lembaga kemanusiaan lainnya sudah melaporkan bahwa pembatasan pemerintah memengaruhi pengiriman bantuan. Laporan menunjukkan bahwa sebagian besar kasus pengungsian tahun lalu berada di negara-negara yang lebih miskin.