REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mensinyalir jumlah kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat selama pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia. Peningkatan itu terjadi sejalan dengan dampak pandemi yang merembet ke berbagai aspek, terutama ekonomi masyarakat.
Kondisi itu membuat tekanan psikis masyarakat meningkat dan diduga menjadi salah satu alasan ikut naiknya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan, selama kurun waktu 2 Maret hingga 25 April 2020 terjadi 643 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rinciannya, 275 kasus kekerasan dialami perempuan dewasa dengan jumlah korban 277 orang, serta 368 kasus kekerasan terhadap anak-anak dengan jumlah korban 407 anak. Seluruh data tersebut dihimpun dari Simfoni PPA dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).
"Perempuan dan anak adalah kelompok rentan yang terdampak paparan covid baik aspek ekonomi sosial dan ekonomi," kata Bintang dalam peluncuran layanan psikologi bagi masyarakat terdampak Covid-19, Rabu (29/4).
Bintang juga menyampaikan dukungannya kepada Kantor Staf Presiden (KSP) yang menginisiasi dibukanya layanan psikologi bagi masyarakat umum yang terdampak Covid-19. Layanan ini bisa diakses melalui sambungan 119 ekstensi 8 dan UPTD Pemberdayaan Perempuan serta P2TP2A di berbagai daerah.
"Layanan ini akan memberi tempat bagi perempuan apakah korban KDRT, perempuan pekerja migran, perempuan disabilitas, dan anak yang butuh perlindungan khusus seperti anak korban kekerasan, ekspolitasi, perlakuan salah, dan penelantaran baik secara online atau offline," ujarnya.
Namun di luar layanan psikologi tersebut, Kementerian PPA juga menyediakan fasilitas pelaporan hingga pendampingan hukum bagi korban kekerasan. Kementerian PPA, ujar Bintang, juga menyiagakan psikolog untuk memberikan layanan secara offline di kantornya.
Sementara itu Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Bambang Wibowo, menambahkan bahwa sampai saat ini belum ada bukti penelitian yang menunjukkan dampak psikologis dan kejiwaan selama pandemi Covid-19. Namun, ujarnya, pemerintah bisa merujuk pada hasil kajian yang sudah dilakukan terhadap kasus SARS pada 2003 dan Tsunami Aceh pada 2004 silam.
"Yang ternyata saat itu (pasca-SARS dan tsunami) ada bukti terjadi peningkatan gangguan kejiwaan bahkan angkanya bisa dua kali lipat dibanding sebelumnya," kata Bambang.