Kamis 30 Apr 2020 04:16 WIB

Menyoal Halalan Thayyiban dan Kesadaran Masyarakat Indonesia

Standar kehalalan meski tampak remeh namun memiliki dampak yang besar pada ibadah

Ilustrasi Halal
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ilustrasi Halal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irani Soraya, Guru Bimbingan Konseling SMART Ekselensia Indonesia

"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu. Dan syukurilah nikmat Allah jika hanya kepadaNya sajalah kamu menyembah.” (QS. An-Nahl: 114)

Dalam kehidupan keluarga muslim, menyediakan kebutuhan hidup dengan barang yang halal lagi baik merupakan sebuah keharusan. Sedari kecil tentunya kita telah diajarkan bagaimana etika atau adab seorang muslim dalam makan dan minum. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang begitu apik lagi rapi terencana.

Urusan perut saja Islam mengatur dengan sangat detail. Misalnya, Islam mengajarkan untuk makan dengan tangan kanan  dan melarang makan minum sambil berdiri. Selain itu juga ada larangan berlebih-lebihan dalam urusan makan dan minum. Serta ada pula sebuah keharusan untuk memilih makanan dan minuman yang tidak hanya halal tetapi juga baik (thayyib).

Halalan thayyiban sudah seharusnya menjadi standar bagi kita. Bentuk implementasinya adalah mengajarkan sedini mungkin pada anak-anak kita tentang memilih makanan yang halal lagi thayyib. Standar kehalalan meski tampak remeh namun memiliki dampak yang besar terhadap diterimanya ibadah-ibadah kita serta doa-doa yang kita panjatkan.

Dalam salah satu Hadis Arbain yang diriwayatkan Abu Hurairah ra.,  Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para RasulNya dengan firmanNya, ‘Wahai para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah.’ Dan Dia berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rezekikan kepada kalian.’

Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, ‘Ya Rabbi, Ya Rabb.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR.Muslim)

Halalan thayyiban juga menjadi salah satu bukti betapa integral dan holistiknya Islam mengatur apa-apa yang baik bagi manusia dan kehidupannya. Islam juga menjadi sebuah tolak ukur bagaimana kita hanya memberi asupan yang terbaik lagi diridaiNya.

Kita patut berbangga sebagai seorang muslim karena aturan-aturan yang berkenaan dengan pola makan, mutu makanan, kualitas makanan begitu ketat diatur dalam syariat Islam. Kebudayaan barat telah membuktikan betapa negara-negara multipower semacam Amerika berjuang keras untuk menurunkan persentase obesitas. Ya, ini adalah bukti betapa masyarakat di Negeri Paman Sam itu dipengaruhi oleh budaya berlebih-lebihan (eksesif) dalam makan dan minum.

Persoalan standardisasi halalan thayyiban bukan melulu mengenai bagaimana menjaga makanan atau minuman agar tidak terkandung bahan-bahan yang diharamkan. Akan tetapi halalan thayyiban telah menjadi etika muslim dalam menentukan standar kualitas dan mutu makanan yang baik, memenuhi standar kesehatan, serta standar bagi sistem pengemasan serta etika lingkungan produsen penghasil makanan.

Namun ironisnya di Indonesia, negeri yang memiliki umat Muslim terbanyak di dunia, isu halal hanyalah menjadi topik segelintir orang. Kebutuhan akan standardisasi halalan thayyiban belum menjadi perhatian dari masyarakat sebagai konsumen dan perusahaan sebagai produsen. Sebagai contoh, data dari Persatuan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) menyebutkan bahwa dari 744 perusahaan kosmetik di seluruh Indonesia, baru 23 perusahaan yang mendaftarkan sertifikasi halal dari BPOM-MUI atau hanya tiga persen saja. Sisanya, 97 persen kosmetik yang beredar di pasaran tidak jelas.

Saat ini banyak negara tengah membidik isu halal sebagai sebuah peluang bisnis yang menjanjikan. Mantan Menteri Pertanian di Kabinet Indonesia Bersatu, Anton Apriyantono, pernah mengungkapkan, sudah selayaknya Indonesia menjadi leader dalam produk dan standardisasi halal. Sebab konsumen Muslim kita terbesar, sehingga produk-produk di Indonesia harus halal.  Hal tersebut beliau ungkapkan sebagai sebuah kritik yang menantang dunia usaha. Indonesia mungkin saat ini tengah menjadi role model bagi isu keberagaman agama, toleransi dan kerukunan umat beragama. Namun sejauh mana nilai-nilai agama itu dijalankan, masih menjadi pertanyaan.

Dalam hal kesadaran, tampaknya Malaysia tengah berada di depan saat ini terkait undang-undang mengenai standardisasi produk halal. Malaysia dipandang oleh ahli ekonomi sebagai sebuah negara yang dinamis dan mengalami masa keemasan. Bisnis dan perbankan syariahnya jauh lebih kuat dan besar ketimbang Indonesia.

Soal standardisasi halal, Malaysia tidak main-main. Di Negeri Jiran itu kini telah tersedia pendidikan master di bidang Halal Food Analysis. Mereka juga telah menjalin kerja sama dengan berbagai departemen dalam mempromosikan serta mempermudah sertifikasi halal. Bahkan setiap tahunnya, telah  diadakan pameran berskala internasional tentang potensi pasar halal global di Kuala Lumpur.

Malaysia rupanya tengah bersiap untuk mengambil kesempatan ini dan bertindak tidak lagi sebagai konsumen, akan tetapi sebagai produsen. Malaysia tidak hanya bertindak sebagai penonton, akan tetapi sebagai pemain.

Pada level masyarakat dan keluarga di negara kita, produk yang halal dan thayyib belum menjadi perhatian, bahkan di tingkat kesadaran saja belum. Dengan penduduk Muslim mayoritas di dalam negeri, masyarakat seolah merasa diri aman dan tenteram asalkan tidak memakan daging babi dan daging anjing.

Masyarakat Muslim di pedesaan maupun perkotaan dalam wilayah-wilayah padat penduduk tanpa disadari banyak mengonsumsi makanan yang bisa jadi halal namun belum tentu thayyib. Standar thayyib sendiri sangat sulit diterapkan tanpa adanya kesadaran diri akan apa-apa yang baik maupun buruk bagi tubuh kita.

Sebagai contoh, seorang yang badannya fit dan berusia muda masih bisa makan soto betawi. Namun lain halnya dengan penderita jantung dan hipertensi. Mengonsumsi soto betawi dengan kuah santan kental dan daging jeroan ditambah kerupuk emping bisa menjadi ancaman baginya. Inilah yang kemudian membuat makanan tersebut jatuh dalam hukum makruh sampai haram.

Contoh lain sebagai ilustrasi, pada bulan Ramadhan biasanya umat Muslim amat sangat menggemari takjil. Katakanlah paling minimal mereka akan beli lontong dengan bumbu kacang, ditambah dengan tahu berontak yang hangat dengan cabe rawit. Menu yang sudah sangat lumrah bukan bagi kita?

Namun kadang kita lupa bahwa sebagai Muslim tuntunan hidup kita adalah manusia mulia, Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam. Beliau telah mencontohkan bagaimana cara berbuka yang baik. Menunya sederhana saja, cukup air putih dan kurma sebagai pembuka. Suatu contoh jika datangnya dari Rasulullah adalah sebaik-baiknya contoh.

Demikianlah, sudah sepatutnya kita sama-sama berbenah. Konsep halalan thayyiban selayaknya menjadi top of mind kita. Dengan demikian, konsep mulia ini tidak hanya mengisi ruang kesadaran kita, namun sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bi shawab.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement