Kamis 30 Apr 2020 06:10 WIB

Buya Hamka: Saat Sentot Ali Basya Insaf Perangi Kaum Paderi

Sentot Ali Basya terkejut ada adzan, jubah, dan surban saat perangi kaum Paderi.

Buya Hamka: Saat Sentot Ali Basya Insyaf Perangi Kaum Paderi. Foto: Buya Hamka dan isterinya
Foto: Google.com
Buya Hamka: Saat Sentot Ali Basya Insyaf Perangi Kaum Paderi. Foto: Buya Hamka dan isterinya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika menjadi salah satu panglima perang Diponegoro, Sentot Ali Basya bergelar Basya Imam Abdul Kamil Sentot. Setelah meraih kemenangan gemilang di Naggulan pada 1828, Sentot diberi gelar baru Radan Basya Prawirodirjo Sentot.

Meski Sentot terus berjuang dan meraih kemenangan, tetap saja kekuatan pasukan Belanda dan pasukan Diponegoro secara umum tidak seimbang. Banyak anggota pasukan Diponegoro yang gugur di medan perang sehingga membuat pasukan Diponegoro lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Baca Juga

Pada saat demikian, Belanda menggunakan berbagai macam cara untuk mempercepat kekalahan pasukan Diponegoro. Salah satu caranya adalah memberikan janji pemberian wilayah bagi pasukan Diponegoro yang mau menyerah. Selain itu, Belanda menjamin bahwa pasukan yang dipimpin oleh para panglima tetap utuh dan tidak akan dicerai-beraikan. Meski menyerah, mereka akan disambut dan diperlakukan secara hormat dan layak oleh Belanda.

Sejumlah pimpinan pasukan Diponegoro mengetahui bahwa perang ini pada akhirnya akan dimenangkan oleh Belanda juga. Sentot yang ketika itu posisinya jauh dan tercerai-berai dengan Pangeran Diponegoro akhirnya bermusyawarah dengan pasukannya.

Akhirnya, disepakati bahwa Sentot dan pasukannya menyerah. Namun, dengan catatan, wilayah yang akan dikuasai Sentot dan pasukannya nanti akan dipergunakan untuk menanamkan dan meluaskan ajaran Islam.

Pada 24 Oktober 1829, Sentot Ali Basya, salah seorang panglima Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, menyerah. Jenderal De Kock menyambut penyerahannya itu dengan kehormatan militer tertinggi.

Prof Hamka (Buya Hamka) dalam bukunya berjudul Dari Perbendaharaan Lama menuliskan, Belanda mengakui kedudukan Sentot sebagai panglima perang. Tidak diganggu gelar Basya dan Senopati milik Sentot.

Setelah ia menyerah, Belanda memberikan konpensasi untuk Sentot, yaitu diberikan harta dan diperlakukan sebagaimana layaknya pangeran-pangeran Jawa yang berdaulat. Namun, Belanda tidak menunaikan janjinya untuk memberikan Sentot kekuasaan wilayah. Padahal, Sentot dan pengikutnya membutuhkan wilayah kekuasaan untuk menanamkan dan menyebarluaskan ajaran Islam.

Pasukan Sentot terdiri atas 1.800 orang yang terlatih dengan baik. Sentot khawatir jika semangat perjuangan pengikutnya menjadi kendor. Mereka adalah santri yang kuat beribadah. Semuanya memakai surban dan jubah putih.

Pada saat yang sama, Perang Paderi berkecamuk di Minangkabau, Sumatra. Di sinilah Belanda kembali memainkan strategi devide et impera-nya atau memecah belah.

Belanda memfitnah Pasukan Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol dengan sebutan sebagai kaum yang menganut paham yang sesat dan merusak Islam. Dikatakan kepada Sentot bahwa Belanda memerangi kaum Paderi itu untuk melindungi kaum Islam yang cinta damai di bawah sultannya di Pagaruyung.

Belanda menjanjikan kepada Sentot, kalau mau ikut memerangi kaum Paderi itu, ia akan diberikan satu daerah yang luas dan menjadi wilayah kekuasaannya. Daerah yang dijanjikan adalah suatu wilayah di Minangkabau, yaitu di daerah bernama XIII Koto. Adapun pangkat yang kelak akan diberikan setingkat Mangkunegoro di Pulau Jawa.

Sentot pun menerima tawaran itu. Namun, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengirim surat rahasia kepada residen militer dan sipil di Padang supaya dijaga, jangan sampai ada hubungan kaum Paderi dengan Sentot.

Sentor dengan pasukannya berangkat ke Minangkabau pada 1832, yaitu tiga tahun setelah dia menyerah kepada Belanda. Sesampainya di Tanah Minangkabau, dia terlibat perang sampai ke Matur, ke Lima Puluh Kota, bahkan sampai ke Air Bangis. Namun, suatu ketika dalam sebuah peperangan, dia sangat terkejut. Sebab, dia mendengar adzan di medan perang, bahkan lebih lantang daripada suara tentaranya sendiri.

Kaum Paderi dan pasukan Sentot sama-sama terkejut. Rupanya dalam pasukan tentara yang dikirim Belanda dari Jawa, ada pula orang bersurban, orang yang mengerjakan sholat khauf di medan perang, sama seperti yang dilakukan oleh pasukan Paderi.

Mereka juga sama-sama terkejut karena semuanya memakai jubah putih dan bersurban. Lama-lama, meski Belanda selalu mencegah hubungan Sentot dan kaum Paderi, hubungan Sentot dan kaum Paderi tak bisa terelakkan.

"Rupanya pakaian sama, hati sama, dan keimanan yang sama, serta cita-cita yang sama. Mengapa kita berperang?" tulis Buya Hamka.

Sentot yang saat itu masih berusia 27 tahun sangat terharu. Ia teringat kembali pada Pangeran Diponegoro yang telah diasingkan Belanda. Sentot pula yang turut mempercepat kekalahan Pangeran Diponegoro karena menyerah setelah diimingi-imingi konpensasi oleh Belanda berupa wilayah kekuasaan.

Timbul takanan batin yang sangat hebat dalam diri Sentot. Dia ingin memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat dan ingin berbuat sesuatu jasa yang besar untuk melawan penjajah Belanda.

Sementara itu, di kalangan kaum Paderi, muncul kesadaran bahwa mereka berperang dengan Kerajaan Minangkabau. Padahal, kedua-duanya bergama Islam. Selama ini mereka diadu domba oleh Belanda. Mereka yang akan habis, sementara Belanda yang akan mendapat untung.

"Bertemulah cita-cita Sentot dengan cita Paderi dan dengan cita Kerajaan Minangkabau," tulis Buya Hamka.

Hubungan Sentot dan kaum Paderi pun menjadi rapat. Bahkan, Tuanku Imam Bonjol pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Sentot.

Kemudian, diputuskan mufakat bahwa kaum Paderi dengan kaum Adat Minangkabau akan berdamai. Bahkan, Sultan Alam Muning Syah, Raja Minangkabau yang telah diberi pangkat regen oleh Belanda, mengangkat Sentot menjadi Yang Dipertuan Agung.

Sebab, Sentot memang merupakan keturunan raja. Dia pun alim dalam bidang agama. Senjata akan dihadapkan bersama-sama kepada Belanda. Surat Raja Minangkabau kepada raja-raja di pesisir dikirim untuk membangkitkan semangat melawan Belanda.

Namun, mata-mata Belanda akhirnya mengetahui maksud besar ini. Belanda pun mengambil tindakan sebelum terlambat

Raja Minangkabau Mining Syah yang bergelar Sultan Alam Bergagar Syah ditangkap dan dibuang ke Batavia. Belanda juga melumpuhkan pasukan Sentot. Ia kemudian diasingkan ke Bengkulu.

Bengkulu lah tempat peristirahatan terakhir Sentot. Tak jauh dari makamnya, ada sebuah bukit yang dinamakan Tapak Paderi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement