Kamis 30 Apr 2020 12:33 WIB

Warga Jepang Langgar Imbauan di Rumah Saja

Sebagian warga Jepang masih pergi bekerja dengan kereta yang berisiko tertular corona

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Aktivitas pekerja Jepang di jam sibuk di salah satu stasiun di Tokyo, Senin (27/4).
Foto: AP Photo/Eugene Hoshiko
Aktivitas pekerja Jepang di jam sibuk di salah satu stasiun di Tokyo, Senin (27/4).

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Setelah Jepang mengumumkan darurat nasional, masyarakat diminta tidak keluar rumah dan tinggal di rumah. Tapi tampaknya banyak warga yang tidak mengindahkan imbauan tersebut.

Sebagian masih pergi bekerja dengan menggunakan kereta walaupun ada risiko tertular virus corona. Sementara yang lainnya makan malam di luar, piknik di taman dan berkerumun di toko-toko tanpa mematuhi peraturan pembatasan sosial atau jaga jarak.

Baca Juga

Jepang memasuki musim liburan yang dikenal 'Golden Week' yakni serangkaian tanggal merah hingga 5 Mei. Pada Rabu (29/4) kemarin banyak orang tua membawa anak-anak mereka berkemah di Taman Shiba, Tokyo.

Daya tarik liburan menguji persatuan masyarakat dalam menghadapi musuh bersama. Karena petugas kesehatan pun sudah memperingatkan peningkatan jumlah kasus infeksi dapat membebani sistem kesehatan di beberapa wilayah.

Para pakar mengatakan rasa kedaruratan di masyarakat tidak ada. Karena pemerintah memberikan pesan yang tidak konsisten dan tidak memberikan insentif untuk tetap tinggal di rumah. Okinawa meminta wisatawan untuk tidak berkunjung untuk 'melindungi kakek dan nenek kami'.

"Mohon batalkan perjalanan Anda ke Okinawa dan tunggu hingga kami menyambut Anda, sayangnya Okinawa tidak dapat memberi keramah tamahan dan sistem medis kami termasuk di pulau-pulau terpencil dalam keadaan darurat," kata Gubernur Okinawa Denny Tamaki di Twitter, Kamis (30/4).

Pandemi virus corona mengadu kelompok yang bersedia mengikuti peraturan tetap tinggal di rumah dengan mereka yang menolaknya. Professor psikologi sosial University of Tokyo Naoya Sekiya mengatakan pemerintah dapat mengirimkan pesan yang lebih keras seperti karantina nasional.

Sementara, Gubernur Tokyo Yuriko Koike kecewa dengan ketidakpatuhan warga. Jepang tidak menghukum warga yang melanggar imbauan tetap tinggal di rumah. 

Secara hukum status darurat nasional yang dapat meminta kepatuhan warga. Tidak ada hukuman bagi warga yang melanggarnya. Hanya ada beberapa insentif bagi toko yang ditutup.

Pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe lebih mengutamakan ekonomi dibandingkan kesehatan publik. Ia bersikeras Jepang tidak akan mengadopsi karantina nasional gaya Eropa sehingga melumpuhkan perekonomian. Menteri ekonominya yang memimpin rapat gugus tugas virus corona.    

"Pesan dari pemerintah cenderung ringan, tampaknya menyampaikan pentingnya tinggal di rumah sambil memprioritaskan ekonomi," kata Sekiya.

Sekiya mengatakan rasa kedaruratan masyarakat berbeda-beda. Maka daripada tetap tinggal di rumah mereka berharap yang terbaik dan berasumsi tidak terinfeksi.

Berdasarkan jajak pendapat surat kabar Asahi menunjukkan sepertiga masyarakat mengatakan mereka lebih jarang keluar rumah daripada biasanya. Tapi hanya lebih dari setengahnya yang merasa dapat mematuhi permintaan Abe untuk mengurangi interaksi sosial sebanyak 80 persen dari biasanya. 

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement