Kamis 30 Apr 2020 15:22 WIB

Pembiayaan Defisit Rp 1.400 Triliun, Bagaimana Ekonomi RI?

Bank Indonesia (BI) memperkirakan pembiayaan defisit fiskal capai Rp 1.400 triliun

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyampaikan perkembangan ekonomi terbaru dalam konferensi virtual, Rabu (22/4).
Foto: Dok. Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyampaikan perkembangan ekonomi terbaru dalam konferensi virtual, Rabu (22/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh NOVITA INTAN

Bank Indonesia (BI) memperkirakan pembiayaan defisit fiskal untuk menangani wabah Covid-19 bisa mencapai Rp 1.400 triliun. Defisit dibiayai melalui berbagai sumber, termasuk pinjaman lembaga dunia dan pasar obligasi.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memerinci, sebanyak Rp 500 triliun defisit fiskal akan dibiayai dari saldo kas pemerintah yang ada di Bank Indonesia dan perbankan, dana Badan Layanan Umum (BLU), pinjaman Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia, serta penerbitan obligasi. Dari pemenuhan tersebut, defisit fiskal pemerintah tersisa menjadi Rp 900 triliun.

"Sementara, sebanyak Rp 225 triliun sudah dikeluarkan, sehingga kini jumlah defisit fiskal menjadi Rp 775 triliun,” ujarnya saat konferensi video di Jakarta, Rabu (29/4).

Menurut dia, dari total sebesar Rp 775 triliun, sekitar Rp 150 triliun akan digunakan untuk pemulihan ekonomi. Kemudian, sebanyak Rp 100 triliun akan ditopang dari kebijakan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) Bank Indonesia sehingga perbankan dapat menyerap surat berharga negara (SBN).

“Sisanya, Rp 425 triliun akan dipenuhi melalui lelang SBN. Kalau kami hitung sisa lelang sampai akhir tahun, kebutuhannya dari lelang tidak melonjak,” ucapnya.

Bank Indonesia optimistis pemerintah dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan defisit fiskal hingga akhir tahun ini. Bank Indonesia, kata dia, sudah menggelontorkan Rp 2,3 triliun untuk menambal defisit anggaran dalam APBN 2020. “Dana tersebut masuk melalui lelang SBN di pasar perdana,” ucapnya.

Pada lelang SBN Selasa (28/4), pemerintah berhasil menyerap Rp 16,6 triliun dari hasil lelang tujuh seri surat utang negara (SUN), dengan rata-rata imbal hasil atau yield 8,08 persen. Total penawaran yang masuk mencapai Rp 44,4 triliun, sementara target indikatifnya mencapai Rp 20 triliun.

Dalam kesempatan tersebut, Perry menambahkan, Bank Indonesia menginjeksi likuiditas sebesar Rp 503,8 triliun melalui kebijakan pelonggaran moneter atau quantitative easing (QE) untuk mendukung likuiditas perbankan yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Jumlah quantitative easing yang dilakukan BI Rp503,8 triliun semuanya terdiri dari QE yang kami lakukan dari Januari-April 2020 mencapai Rp 386 triliun,” kata Perry.

Ia memerinci, total injeksi periode Januari-April 2020 itu terdiri atas pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder yang dilepas investor asing sebesar Rp 166,2 triliun. Selain itu, QE juga bersumber dari term repo atau perjanjian pembelian kembali SBN perbankan, termasuk korporasi yang memiliki SBN dengan jumlah mencapai Rp137,1 triliun.

Selanjutnya, penurunan GWM pada Januari dan April 2020 mencapai Rp 53 triliun dan swap valuta asing mencapai Rp 29,7 triliun. Kemudian, untuk periode Mei 2020, kebijakan penurunan GWM 2 persen sebesar Rp 102 triliun sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang akan berlaku pada 4 Mei 2020.

Selain itu, ada tambahan likuiditas dari kebijakan BI yang tidak mewajibkan selama satu tahun bagi bank yang tidak memenuhi rasio intermediasi makroprudensial senilai Rp 15,8 triliun. Meski sudah melakukan injeksi likuiditas, lanjut dia, untuk menggerakkan sektor riil diperlukan percepatan kebijakan stimulus fiskal yang sudah diumumkan pemerintah karena kebijakan moneter tidak bisa langsung berdampak ke sektor riil.

“Ini kemudian perlu pemerintah mempercepat stimulus fiskalnya sehingga QE bisa mengalir dari perbankan kepada sektor riil. Stimulus fiskal diperlukan untuk mendorong sektor riil,” katanya.

Pemerintah sebelumnya sudah menggelontorkan stimulus fiskal senilai Rp 225 triliun untuk belanja penanganan Covid-19 yang terdiri atas kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, dan dukungan dunia usaha serta industri Rp 70 triliun.

Selain kebijakan fiskal, kebijakan restrukturisasi kredit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada perbankan bagi debitur yang terdampak Covid-19 juga berperan menggerakkan sektor riil.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan terpisah mengatakan, pemerintah akan turut menjaga ketersediaan likuiditas di industri jasa keuangan untuk mencegah dampak negatif dari kebijakan restrukturisasi kredit nasabah-nasabah yang terdampak Covid-19.

Sri menyebut akan terdapat mekanisme interbank dan penyiapan cadangan bantuan likuiditas dengan menempatkan dana pemerintah di bank tersebut. Bantuan likuiditas tersebut, kata Sri, akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Presiden Joko Widodo meminta jajarannya menuntaskan naskah PP tersebut pada pekan ini. Dengan demikian, lembaga jasa keuangan tidak perlu khawatir dalam melakukan restrukturisasi kredit.

“Sehingga segera bisa dijalankan program ini kepada masyarakat melalui perbankan, lembaga keuangan, BPR (bank perkreditan rakyat), bahkan melalui lembaga UMi (Ultra Mikro), PNM, serta Pegadaian,” katanya.

Genjot investasi

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai pemerintah harus menggenjot realisasi investasi langsung sebagai salah satu solusi mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke jalurnya jika pandemi Covid-19 usai.

Enny mengatakan, realisasi investasi langsung, terutama di sektor manufaktur dalam beberapa tahun terakhir sangat minim. Padahal, investasi di industri tersebut sangat besar manfaatnya bagi perekonomian. 

"Selain menciptakan berbagai produk substitusi impor, sektor manufaktur sangat besar peranannya dalam menyerap tenaga kerja. Investasi di sektor manufaktur inilah yang selama ini diabaikan padahal sangat dibutuhkan bagi perekonomian," ujar Enny.

Realisasi investasi langsung diharapkan dapat menjadi solusi atas peliknya dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan jutaan buruh terkena pemutusan hubungan kerja. Menurut dia, pemerintah harus jeli memanfaatkan momentum rencana sejumlah negara merelokasi investasinya keluar dari Cina ke negara-negara ASEAN akibat pandemi Covid-19.

Enny mengatakan, kemunculan pandemi Covid-19 telah menyadarkan banyak pihak akan tingginya risiko bila menempatkan investasi terpusat di satu negara saja. Meskipun sebagian pihak berpendapat rantai pasokan global menjadi lebih efisien, menempatkan investasi di satu negara akan mengakibatkan ketergantungan yang luar biasa. 

"Itu sebabnya Jepang sudah memutuskan akan merelokasi investasi beberapa industri di Cina,” ujar Enny.

Relokasi investasi, lanjut dia, akan menjadi kecenderungan global. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia agar tidak kehilangan momentum. Terlebih, dalam dua tahun terakhir, penanaman modal asing terus tumbuh negatif.

Rantai pasokan global yang terpusat di Cina dalam beberapa tahun terakhir telah mengakibatkan industri manufaktur Indonesia terseok-seok karena kalah bersaing. Menurut dia, komitmen investasi sebetulnya terus berdatangan.

Namun, komitmen investasi tidak serta merta terealisasi karena kerap menghadapi berbagai hambatan, seperti tidak adanya kepastian berusaha dan kurang memadainya infrastruktur penunjang. Oleh karena itu, pemerintah sharus bisa memberikan kepastian usaha terhadap investor melalui regulasi yang mendukung. 

(antara ed: satria kartika yudha)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement