REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA— Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur menyatakan Presiden Joko Widodo bisa mencegah ekonomi lumpuh akibat pandemi Covid-19 apabila segera menurunkan harga bahan bakar solar. Hal ini guna mendongkrak kinerja sektor industri, transportasi dan UMKM.
Ketua MTI Jatim, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan harga solar, termasuk solar subsidi, seharusnya disesuaikan dengan harga minyak mentah dunia yang anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah.
Saat ini, harga minyak mentah Brent untuk kontrak Juni berada sekitar 20 dolar AS per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) 12 dolar AS per barel. Harga minyak WTI bahkan sempat di bawah 0 dolar AS per barel pada perdagangan pekan lalu.
Dia menjelaskan, solar merupakan kebutuhan dasar bagi industri, transportasi, dan UMKM. Kalau harganya sesuai dengan harga minyak dunia yang sangat murah saat ini pasti akan sangat membantu dunia usaha bertahan hidup, sehingga bisa mencegah PHK massal dan menggerakkan kembali ekonomi yang lumpuh.
Bambang Haryo berharap Presiden Jokowi menekan Pertamina agar transparan dan segera menurunkan harga solar. Langkah ini dinilai mendesak untuk menyelamatkan rakyat yang sedang kelaparan dan kehilangan pekerjaan akibat wabah corona.
“Ini kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan benar-benar pro-rakyat. Jika harga solar turun sesuai harga sebenarnya, berarti Presiden telah berani menyikat kartel energi yang membuat harga BBM mahal,” kata anggota DPR RI periode 2014-2019 ini, dalam keterangannya, Kamis (29/4).
Menurut Bambang Haryo, harga solar di Indonesia sejak Februari 2020 masih dipatok sebesar RpRp9.400 per liter untuk Bio Solar dan Rp9.500 untuk Dexlite.
Sebagai perbandingan, Malaysia yang merupakan negara produsen minyak seperti Indonesia menjual diesel atau solar hanya RM 1,43 (Rp 5.028 per liter). Bahkan di sejumlah negara produsen minyak lainnya, solar dijual di bawah Rp 2.000 per liter.
Apabila harga solar turun paling tidak separuhnya, Bambang Haryo yakin dunia usaha di dalam negeri tidak akan kesulitan seperti sekarang. Sektor transportasi akan mampu bertahan karena biaya turun drastis, beban industri termasuk tarif hotel dan restoran juga akan berkurang signifikan. “Daya beli masyarakat otomatis akan meningkat dan pada akhirnya ekonomi tumbuh,” paparnya.
Menurut Bambang, tidak hanya itu, penurunan harga solar akan memangkas biaya pembangkit listrik yang kini masih menggunakan bahan bakar ini sekitar 20 persen. Apabila ditambah dengan penurunan harga batu bara dan gas yang mencapai 50%, biaya pembangkit listrik akan turun drastis sehingga tarif listrik menjadi murah.
Selain tarif listrik, lanjut Bambang Haryo, harga gas yang merosot hingga di bawah 2 dolar AS per MMBtu seharusnya membuat harga pupuk juga turun lebih dari 50 persen, mengingat pabrik pupuk di dalam negeri masih membeli gas pada harga 7 dolar AS per MMBtu.
“Penurunan harga solar, tarif listrik dan gas ini akan menjadi insentif yang sangat efektif bagi pelaku usaha dan masyarakat di tengah kesulitan ekonomi akibat corona. Dampaknya sangat besar bagi perekonomian dan stabilitas keamanan nasional,” ujarnya.
Bambang menyebutkan Presiden SBY menjelang akhir masa pemerintahannya pernah menahan kenaikan harga BBM meskipun harga minyak dunia sempat mencapai level tertinggi, yakni di atas 100 dolar AS per barel (Februari 2014).
Saat itu, pemerintah menggelontorkan subsidi BBM sekitar Rp 190 triliun agar harga BBM subsidi stabil, yakni premium Rp 6.500 per liter dan solar Rp5.500 per liter. Hasilnya, ekonomi bisa tetap tumbuh sekitar 5 persen pada 2014 karena dunia usaha, terutama UMKM, bisa bertahan dari ancaman krisis.
Dia menilai strategi SBY ini berhasil menyelamatkan UMKM yang kontribusinya sangat besar bagi perekonomian yakni 60 persen produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 90 persen tenaga kerja.
Bambang mengingatkan pemerintah, apabila harga solar tidak segera diturunkan bisa menghancurkan sektor transportasi beserta sistem konektivitas nasional yang sangat kompleks dan dibangun dengan susah payah.
Sebagai negara kepulauan dengan luas 5 juta km2, Indonesia dinilai memiliki sistem antarmoda atau konektivitas yang sudah terbangun sedemikian rupa. Kondisi ini berbeda dengan negara kontinen, seperti Australia atau China.
“Kalau transportasi sampai kolaps, untuk menghidupkannya lagi akan susah. Sebagai negara kepulauan, apabila konektivitas hancur maka NKRI terancam bubar sebab distribusi barang menjadi mandeg,” ungkap Bambang Haryo.
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintahan Presiden Jokowi bertindak cepat dan cerdas dalam menyelamatkan ekonomi nasional, salah satunya dengan memanfaatkan kesempatan menurunkan harga solar ketika harga minyak dunia sedang sangat murah. “Saya yakin Presiden Jokowi bisa melakukannya jika ada kemauan kuat,” ujar dia.