Jumat 01 May 2020 09:49 WIB

Asal-usul May Day

Perayaan Hari Buruh Sedunia ditandai dengan sebuah revolusi industri pada abad 19.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Karta Raharja Ucu
Buruh dari sejumlah elemen memperingati Hari Buruh Internasional di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Rabu (1/5).
Foto: Republika/Prayogi
Buruh dari sejumlah elemen memperingati Hari Buruh Internasional di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Rabu (1/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap tanggal 1 Mei, buruh di seluruh jagat raya merayakan May Day atau yang lebih dikenal dengan Hari Buruh. Peringatan tersebut biasanya ditandai dengan aksi kampanye turun ke jalan dari pekerja di seluruh dunia.

Dikutip dari laman History, Jumat (1/5), perayaan May Day tidak terbentuk dalam waktu beberapa dekade ke belakang. Perayaan Hari Buruh Sedunia itu ditandai dengan sebuah revolusi industri pada abad ke-19.

Revolusi yang terjadi sekitar tahun 1884 di Amerika Serikat (AS) tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Pekerja saat itu dipaksa bekerja dengan upah minim dan waktu kerja melebihi delapan jam setiap hari.

Kondisi tersebut tak pelak menciptakan kemiskinan dan kelaparan. Masyarakat khususnya pekerja lantas berupaya mengakhiri kondisi yang tidak manusiawi tersebut.

Dalam upaya untuk mengakhiri kondisi yang tidak manusiawi ini, Federasi Perdagangan dan Serikat Buruh (FOLTU) yang kemudian dikenal dengan sebutan Federasi Buruh Amerika atau AFL mengadakan konvensi di Chichago. FOLTU meminta pemerintah dan pengusaha untuk menetapkan waktu kerja selama delapan jam per hari.

Hal tersebut diminta untuk segera diberlakukan mulai 1 Mei 1886. Mereka mendesak pemerintah segera membuat produk hukum guna mengesahkan permintaan durasi kerja harian yang diinginkan.

Guna menyukseskan hal tersebut, berbagai organisasi buruh di Negeri Paman sam lantas mendorong para pekerja untuk melakukan demonstrasi. Pada 1 Mei 1886, lebih dari 300 ribu buruh turun ke jalan.

Buruh yang berasal dari 13 ribu perusahaan itu memenuhi jalan di seantero negeri. Angka itu bertambah sekitar 100 ribu massa dalam beberapa hari berikutnya.

Aksi yang digelar tepat 134 tahun silam itu lantas direspons represif oleh aparat. Aksi kekerasan dari kedua belah pihak pun tidak terhindari hingga terjadi tragedi yang dikenal dengan sebutan Haymarket Riot atau the Haymarket Affair.

Aparat menangkap sejumlah pendemo dalam peristiwa tersebut. Secara kontroversial pengadilan menetapkan delapan orang sebagai anarkis meski tidak memiliki bukti yang kuat.

Kedelapan orang tersebut dihubung-hubungkan dengan niat melakukan aksi pengeboman. Keputusan juri dinilai bias karena diduga memiliki ikatan bisnis dengan sejumlah pengusaha kelas kakap.

Pengadilan juga menjatuhkan hukuman mati terhadap tujuh demonstran. Sementara itu, delapan lainnya divonis hukuman 15 tahun kurungan. Seiring berjalannya waktu, empat dari 15 terdakwa dihukum gantung, satu bunuh diri, dan tiga orang lainnya diberi remisi enam tahun berselang.

Pada 1 Mei empat tahun berikutnya atau pada 1890, koalisi sosialis dan partai buruh di Eropa menyerukan aksi demonstrasi guna menghormati korban yang jatuh dalam peristwa Haymarket. Lebih dari 300 ribu orang melakukan aksi unjuk rasa di London.

Dikutip laman Time, pada Juli 1958 Presiden AS ke-34, Dwight Eisenhower, akhirnya menandatangani sebuah resolusi bernama 1 Mei. Hari tersebut menandakan loyalitas guna memperingati solidaritas buruh di dunia.

Resolusi itu menyatakan bahwa pada tanggal tersebut akan menjadi sebuah hari khusus. Hal tersebut dimaksudkan guna menegaskan kembali kesetiaan kepada AS dan untuk pengakuan warisan kebebasan di Negeri Paman sam.

Peristiwa berdarah 1 Mei itu akhirnya diperingati oleh banyak pemerintah di dunia. Pada tanggal tersebut akhirnya dirayakan sebagai hari libur bagi buruh atau May Day.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement