REPUBLIKA.CO.ID, Nyai Ageng Tegalrejo adalah satu di antara beberapa tokoh perempuan di Jawa yang punya andil besar dalam sejarah negeri ini.
Ia adalah pejuang sekaligus ulama dan nenek buyut dari pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Ia juga berada dibalik pembentukan karakter kepribadian Pangeran Diponegoro.
Nyai Ageng Tegalrejo yang lahir pada 1735 ini merupakan istri dari Sultan Hamengku Bu wono I. Sosoknya dikisahkan sebagai perempuan pejuang. Ia mewarisi bakat militer dari tokoh berkembangnya Islam di Bima, Sultan Abdul Qahir. Dalam Perang Giyanti, Ia ikut mendampingi suaminya bergerilya.
Nyai Ageng Tegalrejo merupakan anak dari Kiai Ageng Derpoyudhi dari Majangjati, Sragen, kiai masyhur pada waktu itu. Kiai Ageng Derpoyudho sendiri adalah putra dari Kiai Ageng Da tuk Sulaiman atau sering akrab disebut Kiai Sulaiman Bekel. Kealimannya juga tak lepas dari darah yang mengalir dari silsilah keturunannya.
Terkait kisah Nyai Ageng Te galrejo dalam kehidupan keluarga Keraton Ngayogyakarta, pada suatu waktu ia memilih keluar dari keraton setelah suaminya mangkat karena hubungan buruk dengan anaknya Sundoro (kelak HB II). Ia kemudian memilih tinggal di Tegalrejo, sebuah desa yang terletak di tenggara Keraton.
Nyai Ageng Tegalrejo berani meninggalkan Istana karena melihat anaknya yang dinilai mulai menyepelekan perintah agama. Di Tegalrejo, Nyai Ageng Tegalrejo giat bertani tanpa meninggalkankan ibadah.
Sebagai keturunan bangsawan Jawa, kehidupannya juga tidak bisa dilepaskan dari filosofi dan tradisi Jawa. Dalam sebuah artikel bertajuk "Ratu Ageng Tegalrejo: Wanita Perkasa yang Tercuri Sejarah" disebutkan bahwa Nyai Ageng Tegalrejo memegang filosofi Jawa dalam memilih pasangan hidup, yaitu mempertimbangan bebet, bibit, dan bobot.
Ia pernah menjadi komando Korp Prajurit Estri yang terdiri dari para pendekar perempuan. Di bawah kepemimpinannya, Korp Prajurit Estri ini mengalami kemajuan. Bahkan beberapa tahun menjelang Perang Jawa, korps ini membuat utusan negara dan Eropa terkagum-kagum dengan kemampuan para pendekar perempuan dalam menaiki kuda, melepaskan tembakan salvo dan ketepatan membidik.
Di samping itu, cucu dari Ki Ageng Sulaiman Bekel Jamus ini dikenal sebagai perempuan yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Minatnya itu ditularkan kepada Pangeran Diponegoro sebagai orang yang diasuhnya. Karena itu, dalam beberapa sumber disebutkan Nyai Ageng Tegalrejo mempunyai peran besar dibalik nama besar Pangeran Diponegoro. Diponegoro kemudian menjadi sosok yang banyak mempelajari kitab-kitab fikih melalui para ulama yang sering diundang berdiskusi di Balairung, kediamannya di Tegalrejo.
Diponegoro mempelajari kitab Muharrar karya Imam ar- Fari'i dan Lubab al-Fiqh karya Al-Mahamili. Kitab Taqrib karya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab karya Imam Zakari yah al-Anshari merupakan favorit bacaannya.
Di tangan Nyai Ageng Tegalrejo, Pangeran Diponegoro menjadi mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan aksara pegon. Nyai Ageng Tegalrejo juga yang memperkenalkan Pa ngeran Diponegoro terhadap tradisi akademis Tarekat Syattariyah melalui kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.
Peran besar Nyai Ageng Tegalrejo sangat terasa pada diri Diponegoro. Itu terlihat ketika sosok pembimbingnya wafat pada 17 Oktober 1803. Ia merasa ke hilangan pembimbing utama sejak usia remaja hingga dewasa. Kendati demikian, rasa kehilangannya tersebut tak membuat Di ponegoro lemah. Ia menjadi lebih dekat dengan rakyat.