Jumat 01 May 2020 16:27 WIB

Konsep Ekonomi Ala Rasulullah di Saat Krisis dan Normal

Islam menawarkan konsep ekonomi ampuh baik di saat keadaan krisis maupun normal.

Konsep Ekonomi Ala Rasulullah di Saat Krisis dan Normal
Foto: alifarabia.com
Konsep Ekonomi Ala Rasulullah di Saat Krisis dan Normal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syahrudin El-Fikri, Nidya Zuraya

 

Kebijakan fiskal telah lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para ulama.

Ibnu Khaldun (1404) mengajukan solusi atas resesi dengan cara mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar bila pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih besar.

Pengamat Ekonomi Syariah, Adiwarman Karim, dalam bukunya, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, menulis, Abu Yusuf (798 H) merupakan ekonom pertama yang secara rinci menulis tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnya, Al Kharaj, yang menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Menurut Adiwarman, di zaman Rasulullah SAW, sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj (sejenis pajak tanah), zakat, kums (pajak 1/5), jizyah (sejenis pajak atas badan orang non-Muslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kafarat/denda).

Pengeluaran terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.

Penerimaan zakat dan kums dihitung secara proporsional berdasar persentase, bukan nilai nominal, sehingga ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat.

Sistem zakat perniagaan tidak akan memengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Berbeda dengan hal tersebut, saat ini PPN dihitung atas dasar harga barang. Dengan demikian, harga barang bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit.

Di zaman Khulafaur Rasyidin, begitu banyak contoh nyata pengelolaan dana rakyat yang baik. Di zaman Umar ibn Khattab RA, penerimaan Baitul Maal mencapai 160 juta dirham.

Di sisi pengeluaran, Umar memerintahkan Amr bin Ash, gubernur Mesir, untuk membelanjakan sepertiga APBN untuk membangun infrastruktur. APBN di zaman-zaman para teladan tersebut jarang mengalami defisit. Dengan ketiadaan defisit, tidak ada uang baru yang dicetak dan inflasi tidak akan terjadi (karena adanya ekspansi moneter).

Konsep Keuangan Syariah

Ada beragam jenis produk dana, pembiayaan, dan jasa yang ditawarkan oleh bank syariah. Misalnya, wadiah, murabahah, ijarah, rahn, syirkah, mudharabah, qard, dan bay'i. Adapun arti dari istilah-istilah tersebut adalah:

1. Al-Wadiah (Titipan)

Titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.

2. Murabahah

Perjanjian jual beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.

3. Ijarah (Sewa)

Akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujroh) tanpa diikuti dengan pemindahan pemilikan barang itu sendiri.

4. Rahn (Gadai)

Menahan barang sebagai jaminan atas uang.

5. Syirkah (Bagi Hasil)

Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih (bank dengan nasabah) untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal (dana/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

6. Mudharabah

Bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) memercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

7. Al-Qard (Pinjaman)

Akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya (jumlah pokok yang diterima) kepada lembaga keuangan syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah. Pembiayaan jenis ini adalah produk pinjaman tanpa pengenaan bagi hasil sama sekali dalam bank syariah. Sumber dana yang digunakan untuk memberikan pinjaman ini berasal dari zakat, infak, dan sedekah.

8. Bay'i (Jual Beli)

Ada tiga jenis jual beli dalam pembiayaan di perbankan syariah, yaitu akad Bay'u al-Murabahah (akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan (margin) yang disepakati), Bay'u al-Salam (pembiayaan jual beli di mana barang yang dibeli diserahkan kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan di muka), dan Bay'u al-Istishna (kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang).  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement