REPUBLIKA.CO.ID, *Oleh Gus Ubaidillah Amin Moch
Ramadhan kali ini bisa disebut sebagai Ramadhan yang ‘berbeda’. Mengingat saat ini umat Islam menghadapi bulan suci Ramadhan di tengah persebaran pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Maka seorang Muslim hendaknya dapat bersikap bijak dalam menghadapi bulan Ramadhan kali ini dengan senantiasa waspada dan hati-hati dalam menjalankan ibadah, jangan sampai maksud ibadah yang suci justru ternodai dengan ambisi pribadi dan sikap gegabah, sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan diri sendiri dan orang lain.
Salah satu sikap kehati-hatian dalam menghadapi bulan suci Ramadhan di tengah pandemi covid-19 ini adalah dengan lebih memprioritaskan beribadah di rumah daripada beribadah di masjid. Terlebih di daerah yang sudah berstatus zona merah Covid-19.
Beribadah di masjid secara simbol memang tampak lebih bermakna dan menjanjikan pahalanya, namun akan menjadi mala petaka tatkala berakibat tersebarnya wabah penyakit, dan hal demikian jelas merupakan larangan Agama Islam.
Iktikaf yang biasanya dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan guna menggapai malam lailatul qadar, memang hanya dapat dilakukan di masjid dengan berpijak pada pendapat mayoritas ulama.
Namun dalam kondisi saat ini, perlu kiranya kita lebih mengedepankan keselamatan diri sendiri dan masyarakat secara umum dengan cukup iktikaf di tempat yang dikhususkan untuk sholat yang terdapat di rumah kita dengan berpijak pada pendapat Imam Syafii dalam qaul qadimnya dan pendapat Imam Abu Hanifah.
Melaksanakan ibadah iktikaf di ruangan di dalam rumah yang dikhususkan untuk sholat hukumnya boleh dan sah dilakukan, baik bagi laki-laki ataupun perempuan menurut dua pendapat Imam di atas, dengan mengikut pada nalar “jika sholat sunnah saja yang paling utama dilakukan di rumah, maka iktikaf di rumah semestinya bisa dilakukan”. Hal demikian seperti yang disampaikan oleh Imam Ar-Rafi’i:
ولو اعتكفت المرأة في مسجد بيتها وهو المعتزل المهيأ للصلاة هل يصح فيه قولان (الجديد) وبه قال مالك وأحمد لا لان ذلك الموضع ليس بمسجد في الحقيقة فأشبه سائر المواضع ويدل عليه ان نساء النبي صلى الله عليه وسلم كن يعتكفن في المسجد ولو جاز اعتكافهن في
البيوت لاشبه ان يلازمنها (والقديم) وبه قال ابو حنيفة نعم لانه مكان صلاتها كما ان المسجد مكان صلاة الرجل وعلي هذا ففى جواز الاعتكاف فيه للرجل وجهان وهو اولي بالمنع ووجه الجواز ان نفل الرجل في البيت افضل والاعتكاف ملحق بالنوافل
“Wanita melaksanakan iktikaf di masjid rumahnya, maksudnya adalah ruangan tempat menyendiri (di rumah) yang diperuntukkan untuk sholat, apakah hal tersebut sah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat .
Qaul Jadid, Imam Malik dan Imam Ahmad berpandangan tidak sah, sebab tempat tersebut bukanlah masjid secara hakiki, maka lebih sama dengan tempat-tempat lainnya. Pendapat ini juga didasari dalil bahwa Para Istri Rasulullah melaksanakan iktikaf di masjid, kalau saja boleh beriktikaf di rumah, niscaya mereka tentu mereka menetapkannya.
Qaul Qadim dan Abu Hanifah berpendapat boleh iktikaf di Rumah (ruangan yang dikhususkan sholat), sebab tempat tersebut merupakan tempat sholat bagi wanita, seperti halnya masjid merupakan tempat sholat bagi laki-laki.
Berdasarkan pandangan ini, maka dalam bolehnya iktikaf di rumah bagi laki-laki juga terdapat dua pendapat, meskipun lebih utama bagi laki-laki untuk tidak iktikaf di tempat tersebut. Dalil bolehnya iktikaf di rumah bagi laki-laki adalah pemahaman bahwa sholat sunnah bagi laki-laki yang paling utama adalah dilaksanakan di rumah, maka Ibadah Iktikaf mestinya sama dengan ibadah sholat sunnah” (Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, Juz 6, Hal. 503)
Iktikaf di Rumah dipandang sebagai cara ibadah yang paling ideal dan maslahat dalam menghadapi pandemi Covid-19 di tengah bulan Ramadhan ini. Sedangkan niat iktikaf di rumah dapat dengan melafalkan kalimat berikut dalam hati:
نَوَيْتُ الإعْتِكَافَ فِى هَذَا الْمَكَانِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ أَبِىْ حَنِيْفَةْ لله تَعَالَى
“Nawaitu al-Iktikafa fi Hadza al-Makani Taqlidan lil Imam Abi Hanifah lillahi ta’ala”
Selain itu momen Ramadhan kali ini dapat menjadi tabungan pahala yang melimpah bagi kita umat muslim meski hanya dengan berdiam diri di rumah. Seperti telah umum diketahui bahwa tidurnya orang yang sedang berpuasa bernilai ibadah. Seperti dijelaskan dalam hadits:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipat gandakan, doanya dikabulkan dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi)
Hadits ini sejatinya bukan bermaksud menyarankan seorang Muslim untuk senantiasa memperbanyak tidur di rumah, namun yang dimaksud adalah menunjukkan keagungan bulan Ramadhan, hingga orang tidur pun mendapatkan pahala.
Saking besarnya keutamaan Ramadhan ini, orang yang tidur seharian penuh tetap mendapatkan pahala atas puasanya, seperti yang dijelaskan oleh syekh Ali Syibromalisi dalam mengomentari penjelasan gurunya, Imam ar-Ramli:
و لا يضر النوم المستغرق للنهار على الصحيح لبقاء أهلية الخطاب معه إذ النائم يتنبه إذا نبه،ولهذا يجب قضاء الصلاة الفائتة بالنوم دون الفائتة بالإغماء
لبقاء أهلية الخطاب معه أي ويثاب على صيامه للعلة المذكورة
Menurut pendapat yang shahih, tidur yang mengabiskan waktu sehari penuh itu tidak masalah secara syara’ karena ia tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’. Lagi pula orang tidur itu akan terjaga bila dibangunkan. Karenanya, ia wajib mengqadha’ sembahyang yang luput sebab tidur, bukan luput sebab pingsan.
“Redaksi “tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’, maksudnya yang bersangkutan tetap diberikan pahala karena puasanya, berdasarkan illat hukum yang sudah tersebut itu” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz 9, Hal. 394). Wallahu a'lam bisshawab
*Staf Khusus Menteri Agama RI